#22 Menyerah

1.4K 261 2
                                    

Oktober sudah setengah jalan, dan waktu berlari lebih kencang daripada kenyataan. Bumi terasa berputar tiga kali lebih cepat pada porosnya. Sebentar lagi, bulan ini akan habis. Namun Zora masih tertinggal pada hari ini. Jiwanya masih bepergian menyusuri memori-memori baik yang terjadi lagi: ia masih berlarian di pantai pasir hitam sembari menggenggam kamera sakunya. Ia masih bersenandung ria bersama Ayah dan Mama dalam mobil di jalanan berliku sekitar Danau Beratan. Ia masih tertawa akan tingkah-tingkah aneh yang dilakukan teman-teman masa kecilnya. Ia masih berbahagia dengan keluarga kecil yang akan hilang di masa depan. Keluarga kecil yang sebentar lagi pupus... Zora masih ada di sana, dan ia enggan untuk beranjak ke hari esok, ke detik yang selanjutnya.

Dulunya Zora lebih memilih untuk berdiam diri di rumah, memaksa Nenek yang khawatir setengah mati akan anaknya untuk tetap tinggal menemaninya. Kunjungannya ke rumah sakit ini hanyalah beberapa kali. Zora kecil kala itu selalu dipenuhi dengan rasa takut kehilangan. Dan pada akhirnya rasa kehilangan itu menjadi kehilangan yang sebenarnya.

Ayah, tubuhnya sudah kurus kering, wajahnya masih sama: pucat pasi dan tetap memaksa untuk tersenyum saat orang lain datang menjenguk. Entah, apakah ada efek besar dari obat-obatan maupun prosedur penanganan yang Ayah lakukan, nyatanya ia semakin melemah setiap harinya. Dokter yang merawat Ayah berkata jujur kalau sampai sekarang, obat untuk penyakit tetanus belum ditemukan, dan akan lebih berbahaya untuk orang yang belum melakukan pencegahan dengan vaksin. Akhirnya Zora dapat mengerti lebih jelas dengan penyakit yang Ayah derita, berikut dengan segala komplikasi memungkinkan yang saat ini sudah terjadi. Parahnya, Ayah sudah divonis dengan gagal ginjal akibat komplikasi yang bakteri tetanus sebabkan, membuatnya harus melakukan cuci darah setiap dua hari sekali. Uang puluhan juta yang terkuras dari kantong orang tuanya selama berminggu-minggu Ayah dirawat bagaikan setetes air yang jatuh pada tanah ladang yang kering; jangankan membuat perubahan, memberi bekas saja tak dapat.

Zora tak punya cukup hati untuk memberitahu sang ibu kalau semua ini percuma. Zora tak ingin membuat Mama menanggung beban saat dia tahu semua yang akan terjadi, lalu hanya bisa berdiam diri dengan rasa sesal menumpuk sambil menunggu hari di mana Ayah harus pergi. Cukuplah dia dan ayahnya yang tahu rahasia itu. Zora yakin masih punya cukup tenaga untuk dihantam oleh cobaan, tapi ia tak yakin apakah Ayah yang semakin hari tubuhnya semakin melemah, dapat bersikap sekuat dirinya.

Jam menunjukkan pukul sebelas malam. Zora membiarkan Mama yang pamit untuk tidur selama satu jam, masih tertidur dengan pulasnya sejak pukul sembilan. Ada pamannya dan beberapa kerabat yang masih mengobrol di luar kamar. Zora sama sekali tak dapat terlelap. Ia sudah berbaring cukup lama di samping Mama namun matanya terus memaksa untuk terbuka, pikirannya masih ingin bermain dengan liarnya. Zora segera bangkit dan duduk di dekat jendela, menengok ke bawah dan mendapati masih ramainya jalanan Kota Denpasar di luar sana. Orang-orang di luar sana tak akan tahu bagaimana dekatnya Zora dengan kehilangan di atas sini, bagaimana ia terkurung bersama rasa takut yang selama ini ia rasakan. Memang, tak ada lagi dunia yang menuntut untuk tahu semua tentang dirinya. Namun, jika dunianya juga ikut hancur perlahan, ia harus lari ke mana lagi?

Zora kembali bangkit, bermaksud untuk mengecek keadaan Ayah di ranjang pasien. Namun saat Zora membuka tirai... alangkah terkejutnya ia saat menemukan Ayah dalam keadaan kejang. Entah sejak kapan.

"Ayah!"

Mama segera melompat dari tidurnya dan menghampiri Zora yang berdiri dengan gemetar. Ia tak kalah panik saat mendapati Ayah yang kejang-kejang hebat di ranjangnya. Dengan menguatkan dirinya, Zora berlari meraih pintu kamar untuk memanggil sang paman.

"Om! Ayah, Om... Ayah!" teriak Zora, ia menangis sejadi-jadinya. Om Jaya langsung berlari ke dalam ruangan, lalu kembali berlari lebih cepat ke luar untuk memanggil perawat. Semua orang yang ada di sana ikut panik, mereka berhamburan masuk atau mengejar langkah Om Jaya. Sedangkan Zora hanya meringkuk lemas di depan pintu, menangis sesenggukan. Ia tersendu pilu memeluk kedua lututnya. Hanya suara gaduh langkah kaki dokter dan para perawat yang terdengar, sisanya, Zora tak tahu lagi.

ZORA | ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang