ANGKA CANTIK

8K 628 122
                                    

**Warning.
Cerita genre dewasa.

Pria berperawakan tinggi besar dengan sebagian rambut yang berwarna putih itu, bersungut kesal.

Ia duduk di depan teras sambil menatap sms banking di layar ponselnya. Lagi-lagi laporan tentang uang yang terpakai untuk menginap berhari-hari di Louis Hotel. Kemudian putranya berpindah hari berikutnya ke Laimer Hof Hotel.

"Anakmu itu.. Suruh ia pulang sekarang juga. Sebelum nanti menghamili anak orang."

Perempuan empatpuluh lima tahun yang duduk di sebelahnya, mengernyitkan dahi.

"Ammar, dia anakmu juga. Sejak kecil aku sudah menanamkan doktrin agar ia menjaga pergaulannya. Meski dia sekolah di Eropa, tapi ia harus tetap menjunjung adat ketimuran."

Lelaki itu mengambil secangkir kopi beraroma latte dan meminumnya beberapa teguk.

"Bagaimana bisa dia menjaga pergaulan, kalau hampir setiap akhir pekan, menghabiskan malam di hotel dan klub malam? Bahkan Farzan, temanku yang tinggal di dekat apartemennya, mengatakan jarang melihat Ammar sholat di masjid dekat flat. Anakmu itu kenapa tidak dibekali dengan ilmu agama yang cukup? Sebelum aku mengirimnya kuliah keluar negeri."

Perempuan itu menghentakkan kakinya, marah.

"Jadi semua itu kamu pikir kesalahan aku? Apa kewajiban mendidik anak, hanya di aku sebagai Mamanya?"

"Tugas aku kan bekerja, mendulang rupiah untuk membelikanmu tumpukan logam mulia, berlian, tanah, rumah, mobil, kapal pesiar dan pesawat jet pribadi. Jelas kelakuan Ammar itu tidak lepas dari didikan kamu sebagai Mamanya. Dan sekarang anak itu memakai uangku hanya untuk berfoya-foya. Sungguh terlalu. Huh..."

"Terus Mama mesti gimana? Jangan buat penyakit darah tinggi Mama kambuh, bila terus disalahkan seperti ini."

Papa beristighfar.

Entah kenapa ketika membicarakan Ammar putra mereka, lelaki itu seketika langsung emosi.

"Maafkan Papa, Ma. Papa nggak bermaksud menyalahkan Mama. Cup... Cup... Istriku sayang."

Papa menggeser kursi jati tempatnya duduk, mendekati istrinya. Lengan kekar lelaki itu memeluk bahu Mama. Papa mengecup lembut kening Mama.

"Pa, bagaimana kalau kita minta Ammar pulang? Kita siapkan calon istri buat dia dan paksa untuk menikah. Dengan begitu, dia nggak akan berbuat nakal lagi."

Papa sibuk berpikir.

"Ma, berarti calon istrinya Ammar harus perempuan baik-baik dong."

Mama meneplak bahu Papa.

"Ya pastinya dong Pa. Mama memimpikan punya menantu yang cantik, agamanya baik, bisa menjadi Ibu yang baik untuk cucu-cucu kita."

Kedua dahi Papa berkerut.

"Tapi anak kita Ammar, kelakuannya kayak begitu. Apa nggak kasihan nanti sama istrinya?"

Mama menjawab dengan penuh keyakinan.

"Berarti calon istrinya Ammar itu harus berani mengajak anak kita berubah. Dia haruslah perempuan yang kuat dan tidak boleh mudah menyerah."

"Dimana kita bisa mencari gadis seperti itu?"

Baik Mama dan Papa kembali berpikir. Lalu keduanya saling berpandangan.

"Mama sepikiran sama Papa?"

"Papa juga?"

Keduanya saling tersenyum.

Setiap tiga bulan sekali Mama dan Papa memang mengagendakan berkunjung ke rumah Eyang Hapsari di kota hujan, Bogor.

SEPUCUK SURAT CINTATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang