PENGGEMAR

2.4K 451 87
                                    

*Fiza Pov*

Flash back.

"Kalau kamu Fiza, kamu sendiri, berhijab karena Allah atau karena Arsha?"

Fiza tersenyum.

"Dulu mungkin awalnya karena Mas Arsha yang sering mengingatkan. Aku kerja di tokonya Mas Arsha juga wajib memakai hijab. Tapi setelah ikut pengajian, pikiranku baru tercerahkan. Insya Allah aku mulai memperbarui niat bahwa hijabku ini karena Allah yang meminta."

Suara Fathan terdengar nyaring dari balik pintu ruang tamu, menyadarkanku dari lamunan pendek sisa percakapanku dengan Mbak Aya.

Aku, Tante Anita dan adik bungsuku, Fauziah, baru selesai sholat Isya berjama'ah di dekat ruang tamu.

Fathan baru pulang dari Masjid dan datang-datang wajahnya ceria sambil membawa bungkusan yang sepertinya berisi makanan. Ia kemudian menaruhnya di meja.

Kami kemudian duduk di ruang tamu dan mulai tadarus bersama. Bahagia aku mendengar bacaan Qur'an adik-adikku sudah lancar. Tinggal Tanteku yang masih sedikit terbata. Tapi semangat Tante untuk terus belajar, membuatku terharu.

Awal berpisah dengan Om Prayoga, Tante sempat mengalami kekecewaan. Salah satu alasan Om adalah karena menikah lama dengan Tante, belum memiliki keturunan. Aku benar-benar menyayangkan keputusan itu. Meskipun sekarang akhirnya Om sudah menikah lagi dan memiliki dua orang anak dari istri kedua.

Akhirnya aku mengambil kesimpulan, Tanteku dan mantan suaminya memang tidak berjodoh sampai ke surga. Alhamdulillah kesedihan Tante bisa teralihkan dengan hobi memasak dan mengaji. Setahun ini Tante belajar mengaji dan terlihat lebih tenang setelah membaca Al-Qur'an.

Yang aku tidak mengerti, kadang Om masih suka menanyakan kabar Tante lewat ponselku. Jujur aku sudah tidak simpatik sama Om. Aku hanya menjawab sekedarnya.

Aku bilang Tante sehat-sehat saja dan bahagia. Apa Omku menyesal berpisah dengan Tanteku? Aku tidak tahu. Tapi aku sengaja tidak memberitahu Tante tentang hal ini. Dulu mereka memang suami istri. Tapi sekarang keduanya sudah tidak ada hubungan apa-apa.

"Mbak Fiza, dapat kiriman martabak telur nih."

Selesai mengaji, Fathan membuka bungkus plastik dengan merk kedai martabak yang terkenal.

"Dari siapa, Dek?" Aku mulai membuka mukena dan merapikan sajadah.

Kami berempat duduk ngeriung di atas tikar.

Fathan nyengir.

"Penggemar rahasia. Barusan janjian ketemuan di Masjid. Dia sengaja datang nih, buat antar makanan kesukaannya Mbak."

Ya ampun, penggemar apaan sih. Apa jangan-jangan temannya Fathan yang pernah belajar kelompok di rumah.

Berarti sudah tiga kali ini dikirimin martabak.

"Mbak hubungin Ziyad, gih. Bilang terima kasih. Kasihan dia sudah usaha lho, buat nyenengin hatinya Mbak Fiza."

Jadi nama temannya Fathan, Ziyad? Lagian, siapa yang minta dibeliin martabak. Siapa juga yang minta disenengin hatinya.

Fathan pernah bercerita, katanya si Ziyad ini melihat aku lagi jualan di Masjid dekat kampus biru. Ziyad sama Fathan waktu itu sedang mengambil formulir pendaftaran untuk kuliah disana. Mereka ikut sholat Zhuhur di Masjid.

Dasar adik nggak sayang sama Kakak. Bahkan aku sendiri tidak tahu kalau Fathan sholat di dalam Masjid. Ia sama sekali tidak menegurku. Kata Fathan sih, waktu itu Ziyad yang lihat aku. Ia kagum melihat aku berkoar-koar menawarkan dagangan dengan semangat 45. Ia bahkan membeli peci warna hitam tapi aku tetap tidak bisa mengingat wajahnya. Maklum, banyak pembeli.

SEPUCUK SURAT CINTATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang