BERTEMU

3.1K 502 130
                                    


Terminal kedatangan internasional masih tampak lengang. Untuk pertama kalinya Fiza ijin tidak masuk kerja sama Mas Arsha. Duh, baru nggak masuk 1 hari saja, kok rasanya sudah kangen ya sama Mas Bos. Ada nggak sih, obat kangen selain do'a untuk orang yang kita rindukan.

Fiza sering berdo'a agar suatu saat bisa jadi istrinya Mas Arsha. Entah itu diperbolehkan atau tidak, menikung di dunia. Berulang kali Fiza beristighfar. Tidak sepantasnya dia memikirkan lelaki yang belum tentu menjadi jodohnya, sampai seperti itu.

Fiza... Fiza... Lagi-lagi kamu halu.

Tapi memang Mas Arsha lelaki idaman. Pagi tadi, Mas Arsha menelepon, memintanya menemani menjemput Mbak Aya di stasiun Gambir. Tujuannya agar Mas Arsha tidak hanya berduaan dengan Mbak Aya.

Ketika Fiza menolak, Mas Arsha tidak terdengar kesal apalagi marah. Tidak sama sekali. Ditelepon Mas Arsha hanya mengatakan, "Hati-hati di jalan ya Fiz."

Duh, gimana nggak melted coba ya.

Sungguh Fiza merasa dapat perhatian dari seorang Arshaka, Bos sekaligus calon dokter yang tampan, pintar dan sholeh. Calon suami idaman Fiza. Semoga masih ada sosok 'mas Arsha' yang lain, di dunia ini.

Fiza memang meniatkan berhijrah, memakai hijab karena Allah. Tapi Allah mengirim Mas Arsha untuk menjembatani dirinya berhijrah. Karena semua karyawan toko yang berjumlah 15 orang 'diwajibkan' memakai busana muslimah saat bekerja di toko. Dia pun mengikuti pengajian bulanan yang menjadi agenda rutin di toko Arshaka Muslim Collection.

Disanalah Fiza tersentil dan terpanggil untuk belajar agama lebih baik lagi. Sementara beberapa teman Fiza yang setelah lulus SMA bekerja, ada perusahaan yang tidak mengijinkan karyawatinya mengenakan hijab. Sehingga mereka terpaksa melepas hijab saat bekerja.

Adzan Isya berkumandang dan angin malam mulai menerpa. Sebenarnya hari ini bisa saja Fiza tetap masuk toko. Tapi siang tadi dia mampir ke rumah sakit menengok Om Irfan. Tante Anita juga membuat makan siang untuk kedua orangtua Mas Ammar.

Tanpa Fiza duga, Tante Amira sangat excited dan membelikan Fiza blus berwarna peach dengan rok lipit untuk dipakai hari ini. Dia terlihat sangat feminin dan lebih anggun.

Fiza memutuskan untuk mencari mushola terdekat di bandara dan sholat Isya. Selesai sholat, dia berdo'a dan berdzikir. Kemudian dia kembali berjalan menuju pintu kedatangan.

Dengan malu-malu dia memasang papan bertuliskan "Ammar Althaf" di atas kertas HVS putih. Dia melihat beberapa orang di sampingnya, sudah menyiapkan papan serupa yang lebih keren dari miliknya. Hampir semua dalam bentuk cetak atau print. Sementara Fiza hanya menulis tangan dengan spidol permanen warna biru.

Karena semalam sulit tidur, Fiza akhirnya memutuskan untuk duduk sambil selonjoran di belakang orang-orang yang masih berdiri menyambut pesawat Garuda Indonesia dengan rute penerbangan Munich-Soekarno Hatta.

Pesawat itu sudah landing lima belas menit lalu, tapi belum ada tanda-tanda putranya Tante Amira keluar dari pintu kaca otomatis.

Baru Fiza memejamkan mata sekejap, tiba-tiba sebuah koran memukul puncak kepalanya.

"Heh, kamu yang disuruh Mama jemput saya?"

Fiza spontan berdiri.

Lelaki ini memakai topi klub sepakbola Bayern Munchen. Taksiran tingginya di atas seratus tujuh puluh lima sentimeter.

Padahal Fiza juga seratus enampuluh  kurang empat senti, tapi entah kenapa dia jadi terlihat lebih pendek.

Kulit lelaki ini kecoklatan, wajahnya bersih seperti habis bercukur. Rambutnya lurus, hanya anak rambutnya saja sedikit bergelombang. Matanya tertutup oleh kaca mata hitam.

SEPUCUK SURAT CINTATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang