DIA (LAGI)

2.5K 448 36
                                    

Lelaki bertubuh atletis dengan kaos polo berwarna biru langit dan celana tiga per empat itu, dengan santai masuk ke lobi rumah sakit.

Sesekali ia melempar senyuman ke beberapa kaum hawa yang lewat. Siapa yang tidak akan terjerat pesona seorang Ammar Althaf. Hanya gadis bodoh saja yang tidak mengagumi dirinya. Itu yang ada dalam benak Ammar.

Termasuk gadis bodoh yang semalam. Ah, siapa nama gadis itu. Ammar bahkan sudah lupa. Tidak ada yang menarik dari gadis itu, untuk dia ingat. Lihat saja penampilannya yang tidak kekinian. Hijab panjang sampai sepinggang, bagian depannya terjulur menutupi dada.

Tidak ada bagian menarik yang bisa Ammar lihat di bagian depan. Badannya yang kurus seperti tenggelam dalam blus berwarna peach serta rok lipit berwarna senada. Sekilas baju yang kemarin dikenakannya seperti mahal. Ah iya, catat satu hal lagi.

Gadis ini tidak bau wangi. Tidak seperti gadis-gadis lain yang selama ini selalu menjaga penampilan bila berada di dekatnya. Ammar dan wanita cantik adalah dua kalimat yang sulit dipisahkan. Dan gadis ini asli bau matahari, kayak habis panas-panasan. Meskipun tidak sampai bau badan.

Ia tidak habis pikir, Mama bisa mengutus gadis seperti itu menjadi asistennya. Belum lagi Mama saat di telepon, sempat mengatakan kalau ingin menjadikan gadis itu sebagai menantunya.

Berbicara mengenai kejadian semalam, rasanya Ammar ingin tertawa seharian. Ia sebenarnya berhasil mengelabui gadis itu. Gadis hijaber itu. Gadis itu memintanya untuk sholat Jama' Maghrib dan Isya. Dia tidak memiliki alasan untuk harus melakukan kewajiban sholat. Kadang ia sholat kalau ingat. Toh, seperti yang ia bilang, hidupnya baik-baik saja meskipun tidak menjadi muslim yang ta'at.

Sekalipun begitu, ia tetap ingat bacaan surah Al-Fatihah dan surah-surah pendek. Ia cukup cerdas untuk mengingat itu semua. Langkah kakinya terhenti di depan lift. Sebuah kaki jenjang berjalan di belakangnya dan begitu pintu lift terbuka, keduanya masuk.

"Kak Ammar ya?"

Suara sopran nan lembut, memecah keheningan di antara mereka berdua.

Ammar berusaha mengingat, siapa wanita cantik yang berada di depannya ini. Wajah ayu khas Indonesia dengan blush on serta lipstik berwarna merah muda, membuat Ammar tersenyum. Tapi ia gagal mengingat siapa gadis ini.

"Kak Ammar lupa ya? Aku Gayatri Maharani, adik kelas SMAnya Mas Ammar. Saya waktu itu kelas 1, Mas Ammar kelas 3."

Gadis itu tiba-tiba tersipu malu. Siapa yang tidak ingat sosok Kak Ammar, siswa populer di sekolah yang sering membuat banyak perempuan patah hati karena sempat dekat dengan beberapa kakak kelas yang tak kalah populer. Kak Gladys, ketua ekskul tari dan juga pernah dekat dengan Kak Sintia, juara pidato bahasa Inggris sampai tingkat nasional.

"Ooh, kamu Rani, adiknya Mas Aro?"

Mas Aro Adinata adalah kakak tingkat Ammar, dua tahun di atasnya. Mereka pernah satu ekskul Audiovisual sewaktu SMA. Dulu beberapa kali Aro sering mengajak Ammar ke rumahnya. Sepertinya Ammar pernah bertemu Gayatri di rumah Aro, tapi sudah lama sekali.

Ammar memandang penampilan Gayatri yang tampil memikat dengan blus dan blazer jingga dan rok hitam selutut.

"Kamu kerja disini, Ran?"

"Nggak, Kak. Aku masih KoAss, kuliah di luar kota. Insya Allah 3 bulan lagi UKDI. Kalau lulus, tinggal wisuda. Setelah intership satu tahun, mau sekolah lagi ke Jepang. Aku mau minta rekomendasi sama Prof Sulaiman, Bedah Saraf. Beliau praktek di RS ini juga."

"Oya? Kenapa harus ke Jepang? Ke Jerman aja. Aku kerja disana. Ini aku lagi cuti karena Papa sakit."

"Ya Allah, Papanya Kak Ammar sakit apa? Dirawat di kamar berapa?"

SEPUCUK SURAT CINTATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang