DUA KUBU

2.3K 469 142
                                    

*Ammar Pov*

Fiza menyetujui ikut bersamaku pergi ke rumah sakit. Tapi posisi duduk kami seolah sedang bermusuhan.

Pak Ardi, supir Papa di depan. Aku di tengah dan Fiza paling belakang. Baru beberapa meter keluar dari kantor, gadis itu sudah tidak terdengar suaranya.

Pagi ini aku sengaja membatalkan rapat pagi ini karena hendak mengurus kepulangan Papa.

Setengah perjalanan, aku menoleh ke belakang dan menatap wajah Fiza yang bersandar di jendela belakang. Masih tidak ada yang menarik dari gadis ini.

Tapi aku mulai melihat gadis ini berbeda. Mungkin karena teman perempuan yang selama ini dekat denganku, hampir semuanya tidak berhijab. Sedangkan Fiza memakai kerudung menutupi dada. Apa yang mau dilihat coba.

Sesuatu yang tertutup itu justru membuat gadis ini istimewa. Aku sendiri tidak berhasrat menyentuhnya, kecuali kejadian tadi pagi. Tanpa sengaja aku menarik lengan gadis ini saat mengajaknya masuk ke dalam lift. Spontan Fiza melepaskan tanganku karena tampak tidak nyaman.

Siapa sebenarnya kamu, Fiza. Perempuan biasa yang berusaha aku hindari dan tidak ingin berurusan lagi denganmu. Perempuan yang sering mengaitkan semuanya dengan uang dan bahkan mencampuri urusan ibadah harianku.

Aku sendiri tidak mengerti mengapa kamu ingin aku berubah. Sementara aku sudah menikmati hidupku yang seperti ini. Hidup tanpa beban dan tidak ada kewajiban yang mengikat. Apalagi bila itu terkait dengan ibadahku dengan Sang Pencipta. Apakah tidak cukup aku berinfak dengan harta, sudah dihitung sebagai amal kebaikan.

"Den Ammar, kita sudah sampai."

Suara Pak Ardi ternyata juga membangunkan Fiza. Begitu kedua mata kami bertemu, aku jadi salah tingkah.

"Kerudung kamu berantakan. Iler kamu kemana-mana."

Suaraku kemudian hilang di balik pintu yang kemudian aku tutup dari luar.

Pak Ardi tersenyum di balik kaca spion. Sementara Fiza masih belum sepenuhnya sadar.

"Den Ammar bercanda doang kok Non. Tadi selama Non tidur, den Ammar malah lihatin ke belakang terus."

Fiza tersipu malu. Pipinya berubah warna menjadi merah muda.

Dia turun dari pintu belakang dan sempat berkaca di kaca mobil. Kerudungnya tidak terlalu berantakan dan dia nggak ileran. Dasar Mas Ammar iseng. Gumam Fiza, dalam hati.

***

"Mau mampir nengok Papa?"

Ammar dan Fiza terpisah di dua lift berbeda. Mereka kemudian bertemu lagi di depan kamar nomer 505. Bukan bertemu, tapi yang benar Ammar menunggu gadis itu.

"Mm... Boleh."

Ammar menyembunyikan senyum di balik wajah datarnya, mendengar jawaban Fiza.

Perlahan ia mengetuk pintu.

"Assalaamu'alaikum."

Ketika pintu terbuka, Mama memandang ke arah Ammar dan Fiza yang mengekor di belakang.

"Wa'alaikumsalam. Eh ada Fiza? Alhamdulillah. Jadi ramai. Ini ada adik kelas SMAnya Ammar, baru saja datang menjenguk Papa."

"Mas Ammar."

Suara itu... Wajah itu... Fiza tertegun.

Mbak Aya.

Fiza merasa berdiri di tempat yang salah. Situasinya jadi begitu canggung.

"Tadinya aku nggak boleh masuk sama perawat, karena belum jam besuk. Cuma Mas Ammar pesan, bilang aja keluarga. Pasti boleh kalau cuma sebentar."

Kata-kata Mbak Aya terdengar lembut. Tidak seperti dirinya yang tidak ada sisi feminin sama sekali.

SEPUCUK SURAT CINTATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang