SEBUAH TANYA

2.3K 439 31
                                    

Jemari Fiza ragu hendak mengetuk pintu kamar perawatan nomer 505. Pintu kamar itu terbuat dari kayu coklat muda, sama seperti kamar di sebelahnya. Kamarnya Om Irfan, Papanya Mas Ammar.

Bukankah Mas Arsha tidak mengijinkannya menengok. Tapi Fiza butuh alasan. Berpuluh pertanyaan pun masih bermunculan di kepalanya.

Apalagi setelah Mas Arsha memberitahunya kalau lelaki itu dan Mbak Aya, telah putus.

Fiza belum pernah jadian, jadi dia juga tidak mengenal kata 'putus' di kamusnya. Selama ini dia tidak ada waktu untuk pacaran. Dia sibuk berpikir bagaimana harus mengumpulkan rupiah untuk menyangga hidup dan membantu Tantenya. Sejak dia menjadi yatim piatu, Fiza telah merasakan kerasnya hidup dan manisnya perjuangan.

Meskipun kematian mendadak kedua orangtuanya sempat membuat dirinya larut dalam kesedihan yang panjang. Tapi nasihat keduanya selalu dia ingat. Jangan pernah lupakan sholat, mengaji, berinfak shodaqoh dalam keadaan lapang dan sempit, mendo'akan kedua orangtua dan selalu berbuat baik dimana pun, kapan pun.

Bukankah Allah SWT sudah mengingatkan dalam kalam cinta-Nya. Sesungguhnya perbuatan baik itu akan kembali pada pelakunya.

"In ahsantum ahsantum lianfusikum. Wa in asa'tum falahaa.

Jika kamu berbuat baik, berarti kamu berbuat baik untuk dirimu sendiri. Dan jika kamu berbuat jahat, maka kerugian kejahatan itu untuk dirimu sendiri." (Al Isro (17) ayat 7)."

Sekalipun Fiza sangat menyukai Arshaka, dia tahu kali ini ada batasan yang mesti disadarinya.

Mas Arsha tidak seperti dirinya. Perasaan mereka tidak sama. Bahkan sewaktu-waktu Mas Arsha bisa saja kembali bersama Mbak Aya. Fiza pernah mencuri dengar pembicaraan karyawati toko.

Ada beberapa orang yang juga mengagumi Mas Arsha dan membicarakan ketika Mas Arsha dan Mbak Aya bertengkar, lalu putus.

"Ah, paling bertengkar sebentar. Terus balikan lagi."

"Iya, cinta pertama kan sulit dilupakan."

"Hooh. Tapi kalau beneran Mas Arsha nggak balikan lagi. Aku mau daftar jadi calon istrinya."

"Mimpi..."

Celotehan itu sudah berlalu enam bulan silam di antara teman kerjanya. Waktu itu Mas Arsha bertengkar dengan Mbak Aya. Tapi bagi Fiza, seperti kurang kerjaan sih, mengikuti kisah asmaranya Mas Arsha.

Lebih baik seperti ini. Mengagumi dari jauh dan menyimpan perasaannya rapat-rapat. Biarlah hanya Allah dan dirinya yang tahu, bahwa dia menyayangi Mas Arsha dalam diam. Fiza berjalan menuju pintu keluar dan sebelum keluar, dia menitipkan sesuatu ke perawat yang dinas.

"Bu, maaf saya ijin menitipkan ini untuk pasien di kamar 505. Atas nama Arshaka. Terima kasih."

Hanya 1 kilo apel Fuji yang mungkin tidak ada artinya. Karena isinya hanya 5 buah. Tapi Fiza membelinya sepenuh hati dan memakai uang tabungannya sendiri.

Apel itu hanya dibungkus plastik putih tanpa nama. Biarlah Mas Arsha tidak perlu tahu. Karena kalau tahu, Fiza takut lelaki itu malah tidak mau memakannya.

Turun dari lift, Fiza memencet tombol angka 1. Hari ini dia ingin memasukkan leaflet yang sudah dia desain sendiri. Promo "Dapur Ibu Anita", catering milik Tantenya dengan menu makanan rumahan. Dia akan coba bagikan di kantor-kantor. Termasuk juga di rumah sakit ini. Tapi tentu di bagian tertentu saja. Karena dia kan belum meminta ijin.

Barusan dia juga membagikan 10 lembar ke cleaning service lantai 5. Fiza sudah mencatat nomer teleponnya. Namanya Mbak Nisa. Katanya mau ditawari ke perawat-perawat untuk makan siang. Tentu saja Fiza sudah berpikir akan memberikan komisi untuk Mbak Nisa.

SEPUCUK SURAT CINTATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang