Arshaka duduk bersandar di sofa dekat kasir. Ia sedang belajar di tahun terakhir kuliah kedokteran. Tidak hanya pusing karena ia akan ujian. Tapi juga pening karena semalam Bapak dan Ibunya mewanti-wanti saat wisuda nanti, ia diminta mengenalkan calon istri.
Masalah besarnya adalah Gayatri yang sama-sama kuliah kedokteran seperti dirinya, di kota yang berbeda. Gadis itu tidak mau langsung menikah setelah lulus. Aya -panggilan sayangnya untuk Gayatri- ingin melanjutkan sekolah ke Jepang. Mereka sudah sering membahas hal ini dan akhirnya berujung pada pertengkaran.
Gayatri terlahir sebagai perempuan cerdas. Dia selalu ingin maju dan berkembang. Gadis itu ingin melanjutkan spesialis bedah saraf di negeri sakura. Bayangkan, setelah mereka bertahun-tahun menjalani hubungan jarak jauh selama kuliah S1, sekarang harus rela berpisah meski masih di satu benua.
"Mas Arsha... Mas Arsha..."
Suara keras milik Fiza, membuyarkan lamunan Arsha tentang kekasihnya.
"Mas Arsha lagi kangen sama Mbak Aya?"
Arsha dikejutkan dengan wajah Fiza yang sudah bertopang dagu di dekatnya. Ia merasa risih.
"Fiza, sudah berapa kali aku peringatkan? Ini teriroti pegawai ikhwan. Batas kamu dari balik tirai sana." Arsha menunjuk tirai coklat yang berjarak tiga meter di sebelahnya.
Dalam hati Fiza mendongkol. Dia sering protes.
"Ya habis dari tadi aku panggil-panggil Mas Arsha nggak dengar. Lagian tuh Mas Arsha aneh. Mas rajin sholat, rajin infak shodaqoh, tapi Mas masih pacaran. Mas itu kayak mau ambil yang enak-enak aja dari perintah Allah, tapi masih mengerjakan hal yang nggak disukai sama Allah."
Arsha menyentil dahi Fiza. Baginya, Fiza seperti adiknya sendiri. Saat ia pertama kali bertemu Fiza, gadis itu membawa map dengan ijazah SMA. Ia hendak menutup pintu toko dan hatinya merasa iba. Akhirnya dengan berat hati, ia menerima Fiza sebagai karyawan di toko. Meski saat itu ia belum membutuhkan tambahan tenaga.
Tapi gadis itu membuktikan kesungguhannya bekerja dengan mendapatkan pelanggan yang kebanyakan orang-orang kaya. Arsha sendiri heran mengapa Fiza dan nasib baik, seolah adalah dua nama yang sulit dipisahkan.
Ia bahkan tidak bisa marah pada gadis itu, meskipun Fiza kerap menyindir hubungannya dengan Aya. Wajar semangat Fiza sedang tinggi-tingginya untuk belajar agama Islam. Gadis itu baru satu tahun ini berhijrah dan memakai hijab. Ia pun pernah merasakan semangat menggebu seperti itu. Bedanya, ia belum berhasil mengubah Gayatri menjadi sosok muslimah yang mau menutup auratnya.
"Berhijab akan menyulitkan aku nanti kalau mau bekerja. Bahkan bisa menjegal impianku untuk sekolah ke luar negeri."
Ah, kalau tidak cinta, rasanya Arsha enggan bertahan selama ini menggantungkan hubungannya dengan Gayatri.
"Makanya Mas Arsha buruan halalin Mbak Aya dong, sebelum diambil orang. Secara Mbak Aya itu kan cantik luar dalam."
Arsha menghela napas panjang.
"Dia juga seksi, Fiz. Nggak kayak kamu, badan kerempeng. Padahal sudah aku kasih makan siang gratis setiap hari dan uang transport."
Fiza membulatkan mata.
"Iih.. Mas Arsha mesum. Fiza bilangin ke mbak Aya lho."
Lagi-lagi Arsha menjentikkan jari ke dahi Fiza.
Mereka hanya berdua di ruangan itu, karena beberapa karyawan laki-laki sedang stok opname di gudang. Sementara karyawan perempuan ijin makan siang di pantry.
"Kamu tuh yang mesum. Kebanyakan nonton film romantis padahal masih jomblo. Seksi menurut Mas Arsha itu bukan sebatas fisik. Tapi yang lembut, cantik, pintar kayak Aya itu, tiada duanya."
KAMU SEDANG MEMBACA
SEPUCUK SURAT CINTA
Romance"Yang namanya Fiza Lathifa itu artinya angin yang menyejukkan, lemah lembut. Kamu justru kebalikannya. Kayak angin ribut." -Ammar- "Yang namanya Ammar itu juga laki-laki yang kuat imannya. Lah kamu lemah iman kayak begitu." -Fiza- "Aku akan belajar...