Teka-teki

466 67 3
                                        

Selamat membaca mohon krisarnya terimakasih ❤️

Sagara Rafardhan

***

"Hasil otopsinya sudah keluar?" Laki-laki berpakaian hitam menyodorkan sebuah amplop berwarna cokelat, Sagara menatap amplop tersebut lalu membukanya.

"Fajar?" tanya Sagara sambil mengernyitkan alisnya.

Laki-laki di hadapannya mengangguk mantap. "Kamu bisa baca sendiri?"

Sagara larut membaca kertas tersebut, bibirnya menyunggingkan senyum tipis. "Bener 'kan dugaan Sagara, Fajar dibunuh, dari awal Sagara udah curiga, kemarin Pak Hanif bilang sidik jari Fajar gak ada di tambang, kalo emang Fajar bunuh diri, otomatis sidik jari Fajar bakalan tertinggal di tambang. Bukannya ini aneh?" Sagara sudah menduga sejak awal, ada kejanggalan dari kasus kematian Fajar.

Dirga, laki-laki di hadapan Sagara tersenyum bangga, tangannya memeluk bahu Sagara. "Om gak nyangka kamu bisa tanggap, kasus ini udah buat om repot, dengan kamu menawarkan diri membantu om semoga ini cepat selesai."

"Sagara cuma bisa bantu sebisa mungkin, Sagara gak berbuat banyak, cuman nanya sama anak sini."

"Tetep aja membantu, setidaknya masih ada peluang untuk menemukan pelaku."

"Om udah tau siapa aja tersangka dari kasus Fajar?" Sagara kembali menyodorkan amplop tersebut.

"Belum, terakhir sebelum Fajar ditemukan di ruang futsal, Fajar sempat berkumpul bersama teman satu eskulnya, mereka mengatakan pulang terlebih dahulu, Fajar kebetulan pergi ke ruang futsal, merapihkan ruang yang berantakan karena baju untuk lomba."

Sagara mengangguk mengerti. "Kalo penjaga sekolah, atau ibu kantin? Mereka biasa pulang sore saat semua murid kebanyakan udah pulang?"

"Mereka gak ada yang liat Fajar."

Sagara menghembuskan nafasnya gusar. Mengapa ini bisa jadi rumit begini, kalau sudah seperti ini mereka tidak menemukan jalan keluar sama sekali, kasus Fajar belum selesai, kasus baru sudah datang.

"Kamu sudah liat mayat Nadia?" tanya Dirga sambil memperlihatkan kertas berisikan foto seorang perempuan dengan bersimbah darah.

"Udah barusan sebelum kesini."

"Om rasa ada yang janggal, korban ditemukan lagi saat upacara, jika benar Nadia bunuh diri, Nadia mungkin akan ditemukan saat pagi hari, karena kondisi mayatnya yang berada di lingkungan sekolah yang cukup mudah untuk dijangkau, tetapi saat pagi tidak ada yang mengakui melihat Nadia, Nadia baru ditemukan saat upacara berlangsung.

Kalaupun Nadia bunuh diri saat upacara, pasti akan ada suara mencurigakan, kemungkinan besar Nadia dibunuh, Om merasa bahwa Nadia meninggal beberapa jam yang lalu, darahnya mengering, ada yang membunuh Nadia, lalu pembunuh memindahkan Nadia, pembunuhan mengecoh polisi agar tidak mudah dilacak, seolah-olah Nadia memang bunuh diri, tetapi kenyataannya tidak."

"Nadia dibunuh? Dua orang dibunuh, apa pelakunya sama?"

"Bisa jadi sama, mungkin jika tidak cepat ditemukan akan ada korban lagi, pelakunya bukan orang sembarang Sagara, pada kasus Nadia tidak ada sidik jari pelaku."

Sagara semakin penasaran apa motif pembunuhan kali ini, bahkan kasusnya sangat berbeda dari biasanya. Sagara menaruh tangannya di belakang kepala, matanya menatap ke sekeliling, sekarang mereka berada di laboratorium IPA. Mata Sagara bergerak tidak menentu, otaknya dipaksa untuk berpikir keras.

Sagara sebenarnya tidak ingin terseret dalam kasus ini, tetapi kasus ini terjadi di lingkungan sekolahnya, berkaitan dengan orang yang Sagara kenal, atau bahkan orang yang dekat dengannya. Dirinya hanya ingin bisa belajar dengan nyaman tanpa gangguan, tetapi malah sebaliknya. Hal-hal aneh mulai menghantui hidupnya, terlebih ini bukan masalah sembarang.

Entah siapa pembunuh tersebut, yang jelas orang tersebut masih berkeliaran di sini, mungkin saja sedang mencari target selanjutnya. Orang sinting itu masih bebas berbuat seenaknya, sementara murid Sma Nirwana semakin hari sama sekali tidak merasa aman.

Sekolah yang tadinya tempat menyenangkan untuk belajar kini berubah menjadi tempat menyeramkan.

***

"Kalian ngapain di sini?"

Tangan Faqih yang ingin membuka knop pintu langsung terhenti, tubuhnya memutar, menatap perempuan yang berdiri tak jauh darinya.

"Gak ngapa-ngapain." Faqih bergerak mundur menjauhi pintu, berjalan pelan menjauhi laboratorium IPA, di sampingnya ada Sarla yang hanya diam menatap ke arahnya, sementara di samping Sarla ada perempuan dengan rambut sebahu yang tersenyum lebar.

"Tadi lo gak ikut upacara?" Faqih bertanya menatap Sarla, saat upacara Faqih sama sekali tidak melihat Sarla ada di barisan kelas.

"Telat, barisnya misah sama kelas lain."

"Lo juga gak ikut baris?" tanya Faqih, kali ini menatap Tasya, jika diingat Faqih juga tidak melihat Tasya.

"Gue ikut, cuma gak lama gue ke toilet, pas ke lapangan lagi udah pada bubur. Perasaan gue ke toilet gak lama."

Saat upacara berlangsung Tasya izin ke belakang, namun beberapa menit kembali lagi, lapangan kosong.

"Ada mayat, makannya langsung heboh." Faqih berucap lesu, tidak tertarik dengan berita kali ini. Jika biasanya ada gosip yang beredar dengan semangat Faqih akan membahasnya.

"Mayat?" beo Tasya terkejut, matanya membulat, mulutnya sedikit terbuka. "Kok bisa?" tanyanya masih tak percaya.

"Ya bisalah gue juga gak ngerti."

Sarla menatap Tasya, wajah perempuan tersebut memucat. "Gue takut," lirihnya. Mengingat kembali apa yang terjadi selama dua hari, ada orang asing yang mengikutinya membuat Sarla merasa takut, sangat takut. Di tambah yang terjadi di sekolahnya.

"Gue diikutin sama orang, gue gak tau itu siapa," ucapnya lagi. Wajah Sarla memang benar-benar terlihat ketakutan.

Tasya merangkul bahu Sarla, mencoba menenangkan sahabatnya. "Lo gak sendirian ada gue, ada Bunga, kita sama-sama."

Sarla mengangguk, membuang semua pikiran buruknya. Perempuan tersebut mencoba melawan rasa takutnya. Sarla tidak sendirian ada teman-temannya yang berada di sampingnya sekarang, tidak perlu di takutkan bukan?

Di saat pikiran Sarla terus memikirkan siapa orang yang mengikutinya, lain dengan Faqih, laki-laki dengan jaket kulit tersebut masih penasaran dengan orang yang bersama Sagara di ruang laboratorium, mereka berbicara serius dan terlihat sangat akrab, siapa orang tersebut, Faqih yakin itu bukan murid Sma Nirwana, dilihat dari wajahnya yang memang tergolong sekitar usia 20 tahun.

Bukan juga Ayah Sagara, karena meskipun Faqih tidak mengetahui ayah Sagara, laki-laki yang mengobrol dengan Sagara barusan masih terlalu muda.  Lalu siapa? Apa yang mereka bicarakan? Apa ada hal yang memang Sagara sembunyikan.

Mereka berteman tiga tahun, Sagara memang termasuk ke dalam orang yang tertutup, tidak pernah menceritakan masalahnya, hidupnya seolah tanpa beban, tidak bisa mendeskripsikan apa yang dia rasakan. Tipikal laki-laki introvent.

"Jangan berpikiran negatif." Sarla yang tau apa pikiran Faqih sekarang, dia menyenggol perut Faqih dengan sikunya.

Faqih menoleh, menatap ke arah Sarla. "Lo gak berpikiran begitu?"

Sarla menggeleng, tidak punya waktu memikirkan hal yang tidak penting, Sarla memang pintar tetapi tidak terlalu suka jika disuruh berpikir.

"Mungkin aja Sagara ngobrol sama saudaranya, lo cuma liat dari jauh, bahkan lo gak denger mereka ngomongin apa?"

Ada benarnya juga sih, tetapi kejadian aneh di sekolah langsung membuat Faqih menyimpulkan bahwa Sagara mungkin terlibat, agak aneh, meskipun gak ada bukti, tetapi Faqih merasa seperti itu.

"Atau lo jangan-jangan berpikir kalau Sagara,-" Sarla menggantung ucapannya, menunjuk Faqih dengan jari telunjuknya.

Faqih mengangguk membenarkan ucapan Sarla. Memang tidak yakin, tetapi sempat-sempatnya Faqih memikirkan hal tersebut.

"Lo gila."

***

Next

Makasih yang udah mau baca sorry kalo ada typo.

The SecretTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang