Perempuan Bergaun Putih

415 70 5
                                    

Selamat membaca mohon krisarnya terimakasih ❤️

***

Sarla menatap ke sekitar, sebuah ruangan dengan nuansa biru langit, itu kamarnya, posisi kamarnya sama sekali tidak berubah, ada banyak boneka yang terletak di atas kasur, sebagian berada di atas karpet.

Sarla masuk ke dalam kamarnya. Selalu takjub melihat isi kamarnya, dia suka astronomi, bahkan langit kamarnya bertabur stiker bintang yang saat malam hari akan mengeluarkan cahaya.

Rumahnya memang selalu sepi, bahkan hanya Sarla di sini sendiri, tidak besar memang, namun rumah Sarla memiliki dua lantai, kamarnya berada di lantai dua.

Sarla berjalan, langkah kakinya terdengar beriringan dengan suara detak jarum jam yang mengisi kekosongan ruang kamarnya. Sementara di luar sinar bulan nampak terang, angin berhembus pelan, menerbangkan tirai jendela yang sengaja Sarla buka.

Suara langkah kaki, apa itu mamahnya. Sarla bergerak. Suara langkah kaki menaiki tangga, awalnya terdengar samar namun semakin jelas.

Satu, dua, tiga, suara anak kecil terdengar di telinganya, Sarla yakin itu suara anak kecil. Sarla berdiri di belakang pintu kamarnya. Satu, dua, tiga, anak kecil tersebut berucap riang, langkahnya mendekat, jantung Sarla berdegup cepat, Sarla ketakutan.

Sarla bersandar di pintu, wajahnya menengadah ke atas, matanya terpejam. Suara langkah itu mendekati kamarnya. Sarla semakin cemas.

Brak, brak, brak

Bukan lagi suara langkah, tapi suara ketukan pintu, pintu kamarnya di ketuk dengan keras, oh bukan ketukan tapi sepertinya pintu kamarnya sengaja dipaksa untuk didobrak. Sarla diam mengigit bibir bawahnya, tangannya bergetar. Wajahnya berkeringat, Sarla menoleh ke arah pintu yang tertutup. Sarla bergerak mendekati lobang pintu sedikit mengintip. Ingin tau siapa anak kecil yang berada di depan kamarnya.

Jantung Sarla hampir copot, Sarla membekap mulutnya tak percaya. Seorang anak kecil berdiri di depan kamarnya dengan gaun berwarna putih selutut, gaun tersebut robek, sementara wajah anak kecil tersebut hampir rusak. Pipi kirinya robek menampilkan tulang tengkorak yang bisa Sarla lihat dengan jelas.

Sementara mata kirinya, bola matanya tidak ada disana, kosong, rambutnya acak-acakan seperti tak pernah di sisir, kedua tangannya potong hingga siku, menyisakan tulang yang berlumuran darah. Sarla langsung mengalihkan pandangannya. Jantungnya semakin menggila, Sarla hampir menangis. Air matanya menetes karena takut.

Sarla mundur, pintunya bergerak, suara dobrakan semakin keras. Sarla meremas baju tidurnya, kakinya melemah, Sarla takut. Sarla terus berdiri. Sementara orang di depan kamarnya seperti memaksa ingin membuka pintu.

Sarla meringis. Masih membekap mulutnya, sama sekali tidak ingin mengeluarkan suara sedikitpun, lama Sarla berdiri pada posisinya. Suara tersebut lama kelamaan hilang, Sarla menghembuskan nafasnya pelan.

Sarla menunggu sebentar, lalu melangkah maju dengan langkah pelan. Sarla memutar knop pintu kamarnya, pintunya terbuka, kosong, tidak ada apa-apa.

"Gotcha! Aku menemukanmu." Sarla menoleh ke samping, anak kecil tersebut berdiri di samping kanannya, menatap Sarla dengan satu bola matanya. Sementara bibirnya tersenyum lebar, jantung Sarla berhenti di tempat, wajah anak kecil tersebut tampak mengerikan.

Sarla bangun dari tidurnya dengan nafas terengah-engah, lagi mimpi buruk terus menghantuinya. Sarla mengusap sudut matanya yang basah, sementara kedua tangannya bergetar hebat, mimpinya terasa nyata dan begitu menakutkan.

Sarla takut kejadian di sekolahnya membuat Sarla tidak bisa hidup seperti dulu, dirinya merasa 'diganggu' setiap malam Sarla bahkan takut untuk menutup mata, Sarla takut tidur.

Sarla menangis. Air matanya turun. Matanya menatap ke sekeliling kamar. Jantungnya berdegup cepat. Bayangan anak kecil tadi terus memutar di otaknya, Sarla bisa mengingat dengan jelas kondisi anak tersebut.

Sarla memeluk tubuhnya. Sarla takut. Punggungnya bergetar hebat, kakinya lemas. Matanya menatap ke arah jam dinding yang tergantung di atas televisi. Jam 01.00 seperti kemarin.

Sarla akan bangun saat dini hari, sejak. Pertama mimpi buruk Sarla tidak bisa melanjutkan tidurnya lagi, takut jika mimpi buruknya akan berlanjut.

Sarla bangkit, berjalan pelan menuju pintu. Dirinya berhenti di depan pintu, ragu untuk membuka pintu kamarnya sendiri. Dengan pelan Sarla membuka pintu kamarnya. Kosong tidak apa-apa, Sarla bergerak pelan, menuruni anak tangga. Sarla ingin menemui Mamahnya. Sarla takut sendiri di kamar.

Sarla sampai di depan pintu kamar bundanya. Membuka pintu cokelat tersebut lalu masuk ke dalam. Di sana ada seorang perempuan dengan baju tidur yang duduk di depan meja rias.

Sarla mendekat, memeluk leher sang bunda dengan sangat erat, Sarla menangis histeris. Dewi menoleh kaget, menatap anaknya yang menangis tersedu-sedu dilehernya. Dewi bangkit dari duduknya. Memeluk tubuh Sarla. Mengusap punggung anaknya yang bergetar.

"Sarla takut." Sarla berucap lirih, Sarla benar-benar takut. Bayangan anak kecil tadi masih bisa Sarla ingat, Sarla tidak bisa melupakannya.

"Jangan takut ada bunda di sini."

"Sarla takut sendiri bun."

Sarla semakin mengeratkan pelukannya, menyembunyikan wajahnya di leher Dewi, Sarla masih terisak, air matanya turun membasahi pipinya, kakinya lemas.

Mulai saat ini Sarla semakin takut untuk tidur, baginya mimpi itu terasa nyata, semakin hari semakin membuatnya merasa ketakutan, Sarla tidak ingin tidur rasanya.

Dewi membawa Sarla, mendudukkan Sarla di atas kasur. Sementara dirinya terbaring di samping Sarla. Dewi menarik lengan Sarla untuk ikut terbaring. Sarla mengangguk membaringkan tubuhnya memeluk guling, berhadapan langsung dengan Dewi.

Dewi mengusap rambut Sarla dengan lembut. Semakin lama Sarla semakin menikmatinya. Namun Sarla tetap terjaga. Sarla tidak ingin tidur kembali. Sarla hanya menatap mata Dewi yang terpejam.

Sarla menghembuskan nafas lega. Seenggak disini Sarla tidak sendirian.

"Mimpi buruk lagi?" Dewi belum membuka matanya, namun membuka suaranya, tangannya masih membelai lembut rambut Sarla.

"Iya."

"Kali ini mimpi apa?"

"Anak kecil," jawab Sarla lirih. "Sama kayak kemarin mukanya rusak, kedua tangannya potong, bola mata kirinya bolong."

"Itu cuma mimpi Sarla."

Sarla tau itu mimpi tapi mengapa terus menerus memimpikan hal buruk tersebut. Orang-orang yang selalu Sarla temui dalam mimpi kondisinya sangat mengerikan. Dan bukan hanya sekali Sarla mengalaminya.

"Tapi ini bukan sekali."

"Berapa kali?"

"Lima kali."

"Mau ke dokter besok?" tawar Dewi.

Sarla menggeleng cepat. "Buat apa Sarla gak sakit!"

Dewi membuka matanya menatap iris mata Sarla. "Ke dokter bukan berarti sakit Sarla, bunda cuma mau mastiin keadaan kamu."

Sarla diam tak menjawab, tidak juga meng'iyakan ajakan Dewi. Sarla masih memikirkan belakangan ini yang terjadi pada dirinya sendiri, sejak pertama Sarla melihat Fajar. Sarla seperti dihantui rasa takut. 

***

Next

Makasih yang udah mau baca sorry kalo ada typo jangan lupa tinggalkan jejak

The SecretTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang