XVIII

1.1K 278 19
                                    

Freya sengaja bangun lebih siang di akhir pekan ini. Dari dapur sudah tercium wangi yang menggoda pertanda Asisten Rumah Tangganya sudah menyiapkan sarapan. Freya kembali bergelung di balik selimut setelah mengirimkan pesan pada kembarannya.

Sarapan di rumah aku. Aku males keluar.

Freya baru saja akan memejamkan matanya ketika muncul balasan dari Rein.

MELUNCUR!

Padahal kembarannya yang baru saja putus, tapi malah Freya yang rungsing. Rein malah tampak tenang-tenang saja. Harusnya Freya lega karena Rein akhirnya putus dari perempuan yang paling dibenci Freya. Sebenarnya Freya memang lega. Tapi kejadian itu juga memunculkan pertanyaan di benaknya.

Bagaimana hubungannya dengan Franklin? Di mata Freya, kesalahan Franklin memang tidak seburuk kesalahan Ratu. Itu hanya kenakalan di masa remaja. Setiap orang bisa menjadi lebih dewasa dan meninggalkan kebiasaan buruk mereka di masa lalu. Freya juga percaya hal seperti itu. Tapi mendadak hatinya ragu.

Keraguan itu tanpa disadari mewujud dalam sikapnya terhadap Franklin. Mereka berpacaran jarak jauh. Seharusnya setiap interaksi adalah berharga. Namun beberapa kali mereka saling menelepon, Freya malah tampak tak antusias. Saat Franklin mengajak video call pun Freya malah menolak. Freya sadar, cepat atau lambat Franklin pasti menyadari keanehannya.

"Woy rapi juga nih kamar perawan satu," seruan kencang muncul, mengoyak lamunan Freya dan membuka kembali kedua kelopak matanya. Padahal Freya bermaksud tidur lagi. Karena pusing memikirkan hubungannya dengan Franklin, Freya jadi lebih 'semangat' bekerja. Datang sejam lebih cepat dan pulang tiga jam lebih lambat. Seharusnya dia mendapat bonus biaya lembur nanti.

Freya melempar salah satu bonekanya dan ditangkap dengan sigap oleh Rein. "Berisik banget."

"Bangun dong bangun. Di luar cerah tuh," Rein menghampiri jendela Freya dan membukanya lebar-lebar. "Buka jendelanya harus manual ya."

"Gak usah sombong," Freya membalas dari balik selimut.

"Aku lapar nih. Makanya udah nyampe sini," Freya merasakan Rein ikut berbaring di sebelahnya.

Freya membuka selimut, menggerakkan cuping hidungnya ke arah Rein. "Kok bau?"

"Ke sininya lari. Belom mandi," Rein membalas, nyengir.

"Buset!" Freya bergeser dua senti menjauh.

"Halah, kamu juga masih ileran kali."

"Iye emang."

Keduanya lalu diam. Mereka memandang langit-langit.

"Aku bahagia aja lho putus dari Ratu. Kamu harusnya jangan kayak gini," Rein berkata lebih lembut. "Kalau mau lanjutin sama Franklin gak apa-apa. Toh ternyata dosa dia gak sejelek dosa Ratu."

Freya diam.

"Lagian sekarang si preman itu kayaknya makin bener hidupnya," Rein menambahkan dan membuat Freya mendengus.

"Serius. Tapi ya kalau memang mau putus, omongin sama Franklin," cara bicara Rein ini mengingatkan Freya pada ayah mereka. Tenang.

"Kenapa mikir aku bakal putus?"

Rein mengangkat bahu. "Apa ya. LDR is not your thing. Kamu tuh harus ada 'temen'nya. Liat aja nih, rumah ada ART-nya. Biar gak sendirian banget. Beda sama aku yang totally alone. Di kantor pasti selalu sama Dinda. Lalu memangnya aku gak tahu kalau hampir tiap malem kamu telepon Mama? Curhat and any other girl stuffs?"

"Mama yang cerita?"

Rein menggeleng.

"Tadi malem aku ke rumah. Maen aja. Diskusi sama Ayah. Lebih ke cerita sih soal hubungan sama Ratu. Ya karena Ratu kan anaknya temen Ayah. Tepatnya, ehem, mantan pacar."

The Twin's Troubles - END (GOOGLE PLAY)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang