#BdB-23

361 54 24
                                    

Aku tau kalian gak suka digantung :))xx

******

"Jangan ngomong apa-apa, Ndra."

Andra menoleh, menatap Adisa dengan sebelah alis terangkat. Dari semua kalimat yang bisa wanita itu ucapkan, kenapa dia memilih mengeluarkan kalimat itu dari mulutnya?

Saat ini mereka duduk bersebelahan di taman rumah sakit yang letaknya tidak begitu jauh dari kamar perawatan Ayah Adisa. Setelah membiarkan Adisa 'mengobrol' dengan Ayahnya selama empat puluh menit, akhirnya wanita itu ke luar ruangan, mengajak Andra untuk duduk berdua.

"Kenapa, Dis?"

"Kepala aku mau meledak. Aku takut ketika dengar penjelasan kamu nanti kepalaku benar-benar meledak."

Adisa tidak sedang bercanda, karena raut wajahnya tetap datar tanpa ekspresi. Andra menghela napas, menuruti apa yang Adisa mau. Andra juga tidak mau menambah beban wanita itu. Setidaknya, tidak untuk saat ini.

"Makasih, ya, Ndra," kata Adisa pelan dengan tangan saling meremas. "Makasih udah mau nganter aku ketemu Ayah."

"Apa rencana kamu selanjutnya, Dis?"

"Nggak tau, Ndra. Yang jelas, aku harus memastikan beberapa hal dulu."

Sekuat apapun Adisa mencoba tenang, dia selalu gagal. Kepalanya terus berputar, ditambah dengan efek perutnya yang kosong, membuat matanya ikutan berkunang-kunang.

Adisa menoleh ketika melihat Andra berdiri, meninggalkannya sendirian entah ke mana. Kesendiriannya itu ia manfaatkan dengan menghela napas dalam-dalam sambil memukuli dadanya pelan. Rasanya sakit sekali. Seperti ada batu besar yang menghimpit dadanya, membuatnya tak bisa bernapas. Tanpa ia sadar, setetes air mata jatuh membasahi pipinya. Setetes menjadi dua tetes, begitu seterusnya sampai isakan kecil ikut terdengar.

Andra kembali sepuluh menit kemudian, setelah tangis Adisa mereda, dengan sebuah air mineral dan roti sandwich dari sebuah merek yang biasa ada di minimarket. Air mineral dan roti itu Andra letakkan di pangkuan Adisa, sebagai bentuk perintah agar wanita itu mau mengisi perutnya yang kosong.

"Makan, Dis. Aku nggak mau kamu sakit. Pasti dari tadi pagi nggak ada makanan yang masuk ke dalam perut kamu."

Dari mana Andra bisa tahu?

"Dis, aku kenal kamu nggak hanya satu-dua bulan. Aku tau kalo kamu nggak akan sempat makan kalo sedang banyak pikiran kayak sekarang."

Perlahan, tangan Adisa bergerak untuk membuka bungkus roti dan tutup botol air mineral yang masih tergeletak begitu saja di pangkuannya. Tangannya gemetar dan lemas. Dia tidak punya tenaga lagi yang tersisa.

Melihat itu semua, Andra berdecak lalu mengambil alih makanan dan minuman tersebut dari tangann Adisa, membukanya dengan sekali gerakan lalu memberikannya lagi pada Adisa.

Adisa menggumamkan terimakasih, kemudian mulai memakan rotinya dengan sedikit-sedikit. Perutnya mual, menolak diberi asupan makanan. Adisa akan menyerah untuk menggigit lagi rotinya yang bahkan belum termakan seperempatnya, namun Andra mengomel, menyuruhnya menghabiskan rotinya bagaimanapun caranya.

Dengan susah payah, akhirnya roti berukuran kecil itu habis kemudian Adisa meminum air mineralnya hingga hampir setengah botol. Andra memperhatikan semua itu, tanpa mengalihkan pandangannya sedetikpun dari Adisa.

"Disa, listen, I'm so sorry."

Lagi, Andra menyatakan maaf. Kalau tadi Adisa hanyamengangguk sekilas dan tidak begitu memikirkannya, kali ini berbeda. Adisa menatap Andra, dengan sebelah alis terangkat.

Boulon du Bleu [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang