#BdB-25

354 56 24
                                    

Mau up nanti malem tapi ku ada acaraa jadi ku post sekarang aja. Happy reading!


*******

"Ayah, besok kita pulang."

Suara Adisa terdengar cerah. Sambil membersihkan tangan Ayahnya dengan sapu tangan basah, Adisa bercerita tentang bagaimana dia bisa menemukan sebuah rumah kontrakan yang harganya tidak terlalu mahal, walaupun lokasinya termasuk di pinggiran, tidak apa-apa. Setidaknya mereka punya tempat untuk bernaung.

Kondisi Ayahnya masih sama, hanya merespons dengan kedipan mata, namun Adisa tidak lelah untuk terus mengoceh, menceritakan apapun yang bisa dia ceritakan. Termasuk tentang seseorang yang sudah membantunya mengurus kepulangan Ayah dan turut membantu mencarikan rumah kontrakan.

"Ayah harus cepet sembuh, ya. Adis nggak sabar pengen denger cerita dari Ayah. Nah, selesai," Adisa meletakkan sapu tangan ke dalam baskom berisi air. Ia menatap Ayahnya senang lalu membantu Ayahnya untuk berbaring. Sekarang sudah pukul satu siang, waktunya Ayah untuk tidur siang. Karena besok mereka akan pulang ke rumah yang jaraknya cukup jauh dari rumah sakit, Ayah harus mengumpulkan energi mulai dari sekarang. "Adisa tungguin Ayah tidur. Nanti sore baru Adisa pulang."

Ayah tidak menjawab, namun tak berapa lama kelopak matanya menutup. Hembusan napas Ayah teratur, dengkuran halus terdengar setelahnya menandakan Ayah sudah terlelap tidur.

Secara perlahan dan hati-hati, Adisa ke luar dari ruangan Ayahnya, menutup pintu sedemikian rupa agar tidak menimbulkan suara yang berpotensi membangunkan tidur Ayahnya.

Taman yang tak jauh dari kamar inap Ayahnya menjadi pilihannya. Adisa duduk di kursi yang berada di bawah pohon rindang, sehingga ia tidak terpapar sinar matahari. Kursi yang sama dengan yang kemarin ia duduki bersama Andra ketika laki-laki itu mengantarnya ke mari.

Omong-omong tentang Andra, laki-laki itu tidak ada menghubungi Adisa sama sekali setelah Adisa turun dari mobilnya di depan kafe. Tak dapat dipungkiri, Adisa sedikit penasaran tentang bagaimana Andra dan Papa Calan bisa bertemu dan apa saja yang mereka bicarakan berdua. Namun, kalaupun Andra tidak mau bercerita padanya, Adisa tidak apa-apa. Ia menganggap apa yang terjadi di antara dia dan Andra sudah selesai. Dan dengan hilangnya Andra, Adisa mengambil kesimpulan kalau laki-laki itu benar-benar sudah tidak akan mencampuri kehidupannya lagi.

Ya, semoga begitu.

Waktu dua minggu berlalu dengan begitu cepat. Besok, Adisa akan ke luar dari apartemen Calan. Sepulang dari bertemu dengan Tiffany seminggu yang lalu, Adisa langsung mulai berkemas. Memasukkan barangnya sedikit demi sedikit ke dalam koper. Tak lupa, Adisa selalu mengunci pintu kamar ke manapun ia pergi, sedekat mengambil air minum ke dapur. Adisa tidak mau mengambil resiko ketauan oleh Calan.

Ah, Calan.

Melihat gerak-gerik laki-laki itu yang masih bersikap seperti biasa—manis dan nafsu yang tinggi—Adisa tau kalau Tiffany memang benar bisa diandalkan. Sepertinya wanita itu tidak memberitahu apapun ke pada Calan. Adisa bersyukur sekaligus merasa bersalah karena Adisa tau betapa dekatnya Tiffany dan Calan.

Akhir-akhir ini, Tiffany bahkan sering menghubunginya. Menawarkan bantuan untuk kepindahannya ke kontrakan yang Adisa tolak dengan halus. Dia tidak mau Tiffany tau di mana alamat rumah kontrakannya. Tiffany hanya cukup tau sampai bagian Adisa akan pergi. Tidak boleh lebih jauh dari itu, atau semuanya akan berakhir sia-sia.

Adisa hanya ingin hidup berdua dengan Ayah, tanpa gangguan siapapun.

Tidak apa-apa, Adisa. Kamu sudah melakukan hal yang benar.

Berkali-kali ia menyematkan kalimat itu di dalam kepala ketika keraguan untuk pergi kembali menyergapnya. Ia harus rajin dan tidak boleh ada keraguan sedikitpun! Bukankah ia sudah cukup lelah dengan masalah yang seperti tak henti menyerangnya? Bukankah ia ingin hidup tenang?

Boulon du Bleu [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang