#BdB-27

366 55 6
                                    

Paginya, ketika Calan sedang mandi, Tristan dan Tiffany duduk bersebelahan di kitchen bar apartemen Tristan.

Sebelum memulai ceritanya, Tiffany memastikan kalau Calan benar-benar mandi. sebenarnya Tiffany sedikit was-was menceritakan ini ketika ada Calan di sana, tapi Tristan tidak mau menundanya lebih lama lagi, membuat Tiffany mau tidak mau menceritakan semuanya.

Berawal dari Adisa yang mengajaknya bertemu seminggu yang lalu, alasan Adisa ingin pergi, dan permintaan Adisa ke pada Tiffany untuk tidak menceritakan kepergiannya ke pada siapapun, termasuk Calan dan Tristan. Tiffany menceritakan semuanya dengan jujur, tanpa ada lagi yang ditutup-tutupi. Berkali-kali Tiffany merapalkan kata maaf pada Adisa di dalam hati karena sudah mengingkari janji mereka berdua.

"Kuncinya ada di Calan berarti," kata Tristan setelah Tiffany selesai dengan ceritanya. Lak-laki itu memijat keningnya yang berdenyut samar, membuat Tiffany memasang wajah khawatir sambil memegang bahu Tristan. "Menurut kamu, gimana reaksi Calan ketika dia nanti tau kalau ternyata alasan Adisa pergi adalah karena Calan sendiri?"

"Are you okay?" Tiffany tidak mengindahkan pertanyaan Tristan. Wanita itu cemas, apalagi kondisi Tristan yang belum sepenuhnya pulih.

"I'm okay, babe. No need to worry."

"Tapi kamu keliatan pucat banget!"

Tristan tertawa, membawa Tiffany mendekat dengan cara merengkuh pinggangnya. "I'm okay."

"Tristan..."

"Now, answer my question. Ya, Sayang, ya? Aku nggak apa-apa."

Tiffany menghela napas, membasahi bibir bawahnya. Sebelum berbicara, Tiffany menyempatkan diri melirik kamar Calan, takut kalau sewaktu-waktu Calan ke luar dari sana dan mendengar omongannya dengan Tristan.

Mudah-mudahan Calan masih mandi dan tidak berniat untuk ke luar dari kamar setidaknya untuk setengah jam ke depan.

"Nggak ada yang menjamin Calan bakal baik-baik aja setelah tau alasannya," kata Tiffany. "Aku takut Calan akan melakukan hal buruk, yang akan merugikan dirinya sendiri. Karena gimanapun juga, Adisa kecewa sama Calan, Tan. Sedangkan Calan clueless banget soal itu."

"Tapi meskipun begitu Calan juga tetap harus tau."

"Nggak sekarang, Tan," Tiffany menyahut cepat. "Aku menghargai keputusan Adisa untuk pergi, dan aku harap kamu juga bisa menghargai keputusannya."

Tristan diam, hanya menatap Tiffany lurus. Dia tau kalau Tiffany belum selesai berbicara.

"Adisa pergi juga bukan hanya karena dia kecewa sama Calan. Dia juga ingin memulai hidup baru dengan Ayahnya setelah mereka terpisah dua tahun. Hanya mereka berdua, tanpa ada gangguan dari orang lain. Kamu ngerti sendiri gimana hubungan Calan, Adisa, dan Papa. Kamu ngerti maksud aku, kan?"

"Jadi, dengan kata lain, kamu setuju dengan keputusan Adisa yang pergi gitu aja? Ninggalin Calan tanpa kata-kata?"

"Tristan, please," Tiffany mengerang. Sebelum melanjutkan kalimatnya, Tiffany berpikir keras, mencari kalimat yang tepat yang akan ia keluarkan untuk mencegah pertengkaran di antara ia dan Tristan. Karena bagaimanapun juga, Tiffany mengerti posisi Tristan sebagai Abang Calan. Mana ada Abang yang terima adiknya dicampakkan begitu saja tanpa aba-aba sebelumnya? "Adisa mengambil keputusan itu bukan tanpa pertimbangan. Dia sudah memikirkannya matang-matang bahkan sampe mau gila rasanya! Dan lagi, aku nggak bilang aku setuju dengan keputusan Adisa. Aku bilang, aku menghargai keputusan yang dia pilih. Lagipula aku bukan siapa-siapa, Tan, sampe harus melarang dia untuk pergi."

Boulon du Bleu [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang