#BdB-30

792 65 17
                                    

FINAL CHAPTER!

Ditunggu vote dan komennya. Buat yang nggak pernah vote atau komen, kalian boleh lakuin di sini hehe. Udah chapter terakhir soalnya, sekalian pesan dan kesannya! xx


-

Setelah menerima amplop cokelat dari Tristan yang berisi lembaran foto dan sebuah alamat, Calan sudah membulatkan tekad untuk datang ke alamat tersebut. Tidak ada hal lain yang ada di kepalanya selain menemui Adisa setelah satu bulan belakangan dia hidup dengan berantakan.

Mabuk hampir setiap hari dan berakhir merepotkan orang lain—yang dalam konteks ini adalah Hansa. Sebenarnya Hansa tidak masalah ketika harus mengurus Calan karena jujur saja, sepertinya Hansa lebih sering merepotkan Calan—anggap saja balas budi—tapi Calan masih sedikit menggunakan akal sehatnya dengan berkali-kali mengingatkan diri sendiri kalau apa yang dia lakukan selama ini hanyalah menyiksa diri.

Ketika Calan sudah berada di balik roda kemudi, entah kenapa di tengah perjalanan dia menjadi gelisah. Dia gugup sekali sampai tangannya berkeringat dingin. Tekadnya yang bulat tiba-tiba pecah, berhamburan ke sana ke mari yang membuat Calan mengambil jalan memutar dan kembali ke apartemennya dengan perasaan caruk maruk.

Hal itu terjadi bukan hanya sekali, tapi berkali-kali sampai Calan tidak tau sudah berada di hitungan berapa saking banyaknya dia kembali ke apartemen ketika sudah hampir sampai pada alamat yang ingin ia tuju.

Panggil Calan pengecut sekarang. Calan tidak akan marah karena dia pun mengakui hal itu. Terlalu banyak 'bagaimana jika' yang mengendap di kepalanya setiap kali dia melajukan kendaraannya ke alamat Adisa.

Tristan pun menepati kalimatnya. Laki-laki yang berstatus sebagai abangnya itu tak bertanya apapun. Tristan menyerahkan semua keputusan pada Calan. Datang dan menemui Adisa, oke. Pun kalaupun tidak, ya sudah, tak jadi masalah.

"Sebenernya apa sih yang membuat lo terus-terusan putar balik pas udah mau sampe ke rumah Adisa?" tanya Hansa gemas. Kalau Hansa tidak ingat Calan adalah sahabat baiknya, sudah pasti laki-laki itu tidak akan segan-segan menggedorkan kepala Calan ke tembok semerta-merta agar Calan sadar. "Gue anterin aja apa? Biar kalo lo gelisah lagi di tengah jalan lo nggak bisa puter balik soalnya gue yang nyetir."

"Nggak," hanya jawaban singkat itu yang bisa Calan keluarkan yang membuat Hansa semakin gemas hingga secara tidak sadar Hansa menggeplak belakang leher Calan dengan keras. "Sakit anjing."

"Sorry, gue nggak sengaja," Hansa meminta maaf karena dia beneran tidak sadar tangannya bergerak untuk menampar keras bagian tubuh Calan. Tingkat gemasnya sudah berada di puncak kepala sampai badannya bergerak tanpa bisa ia kendalikan. "Gemes banget gue sama lo."

Sebelah alis Calan terangkat namun dia tidak menanggapi lebih jauh. Laki-laki itu terlihat sedang berpikir dan Hansa sangat tidak ingin tau tentang apa yang sedang sahabatnya itu pikirkan.

"Cal, kalo—"

"Gue mau ketemu Adisa."

"Terserah," Hansa memutar kedua bola matanya. "Terserah, Cal. Terserah."

"Kalo Adisa nggak mau ketemu gue..." Calan membasahi bibir bawahnya. "Nggak apa-apa. Yang penting bagi gue sekarang adalah gue bisa lihat dia secara langsung..."

"Walaupun?" tanya Hansa menggantung.

"Walaupun dari jauh."

*****

Setelah melalui pergulatan batin yang tidak mudah dan tidak singkat prosesnya, pada akhirnya Calan berhasil melajukan mobilnya menuju alamat rumah Adisa tanpa ada adegan putar balik di tengah perjalanan.

Boulon du Bleu [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang