○Masa Lalu?○

2.1K 296 20
                                    

Yeah, Update><
Jangan lupa tinggalkan jejak!

H a p p y  R e a d i n g

***

Motor besar Adil berhenti di bawah pohon rindang nan lebat. Tepat sekali di kaki bukit tempat yang sengaja Adil tuju untuk menikmati sorenya bersama Celsa.

Celsa melepaskan pelukannya. Gadis itu turun, tatapan matanya tak teralihkan mendongak pada bukit di atas sana. Sepertinya bukit itu tak asing baginya.

"Beng, nggapain kita kesini?" tanya Celsa mengerutkan dahi menatap Adil.

"Eum... gak tau, terserah," sahut Adil seraya melepas helm miliknya.

Celsa mencebik bibirnya kesal. "Lo yang ngajak masa ga tau!" protesnya memberenggut kesal. Baru saja tadi di danau manis, sekarang sudah kembali menjadi sok-sok dingin. Menyebalkan.

Celsa terdiam, menanyakan segala sesuatu pada dirinya sendiri. Kenapa sekarang ia bisa se-bucin itu dengan Adil? Kenapa ia jadi merasa sekarang ia lah yang berjuang? Kenapa ia jadi manja pada Adil?

Adil mulai berjalan, meninggalkan Celsa menuju jalan setapak untuk naik ke atas sana. Celsa yang menyadari itu segara menyusul.

Celsa berdecak kesal, dia mempercepat langkahnya yang kini bersejejaran dengan Adil. "Sok cuek, sok dingin! Rasanya seperti makan odading Mang Oleh!" Celsa menghentikan langkahnya, jelas Adil pun ikut berhenti, "gw punya salah yah, Dil? Eum... kayaknya emang gw salah deh karena terus menerus nyuruh lo kesana kemari,"

Adil malah geleng kepala dengan umpatan tawaan terbahak dalam hatinya. Tangannya menggapai pergelangan tangan Celsa, lalu mulai berjalan.

"Gw puter balik, mau cabut ajalah!" Celsa membuang tangan Adil yang melingkar pada pergelangannya. Lalu segera berlari meninggalkan tempat itu.

Celsa memberhentikan taksi yang lewat di hadapannya. Gadis itu memutar kepalanya terlebih dahulu sebelum masuk, ah, ini halusinasi. Hari ini Adil tak seperti biasanya. Tak asik.

Kaki Celsa baru saja ingin naik, namun langkahnya terhenti saat tangan lelaki menggenggam sekaligus menarik tubuhnya untuk keluar dari mobil taksi itu.

"Maaf pak, ga jadi. Istri saya akhir-akhir ini memang lagi labil. Biasa, ibu hamil ngidamnya aneh-aneh. Masa mau sasimi langsung ke negaranya, dan yang lebih parahnya, dede bayinya pengen ke Jeoang naik taksi," Adil sedikit terkekeh melirik pada Celsa saat memberi penjelasan.

Supir itu mengangguk. "Ouh, sedang hamil yah? Tapi emang biasa kalo ibu hamil suka ngidam aneh-aneh. Tapi ini lebih aneh. Yaudah, saya permisi, mas, mba," sahutnya dan melaju pergi.

"Kenapa dede bayi terus, sih?!" Celsa memukul dada bidang Adil cukup keras, tapi Adil malah tertawa dibuatnya.

"Tapi gw pengen punya dede bayi, bon..."

"Tante Lina suruh punya anak lagi aja. Apa susahnya coba?"

"Susah buatnya, sayangku..."

Astaghfirullah. Satu kata yang terus Celsa sebut dalam batinnya. Mungkin inilah yang disebut koplak sesungguhnya. Adil Si Koplak. Ya, sekarang ia sudah yakin betul jika kekasihnya dua rius koplak.

"Kasian abis ngejar gw," Celsa tertawa kecil seraya mengelap keringat di pelipis Adil. Ia mengalihkan pembicaraan.

"Hmm," Adil berdehem, lalu menarik tangan Celsa agar menghentikan aktivitasnya, "gw udah dua rius sama lo. Besok nikah, yuk? Kayaknya seru serumah sama cewek yang disukai. Tidur bareng, dimasakin, berangkat sekolah bareng. Panggilannya suamiku dan istriku. Ah, ayolah. Semua yang dilakuin juga pahala,"

"Dasar kebelet nikah!" Celsa menoyor kepala Adil dan Adil malah menggerakkan kepalanya pada jalanan.

"Ishh, malu..." Celsa menenggelamkan wajahnya yang memerah pada dada bidang Adil. Dia baru sadar jika ia dan Adil menjadi tontonan gratis di tepi jalan.

"Kuingin nikahi kamu, jadikan kau istriku, kuingin kau jadi ibu dari anak-anakku... sebut namamu, binti ayahmu, dan semua wali akan berkata sah, SAH! Ini gila tapi ku mau, halalkanmu..."

Ah, malu kali ini pada diri Celsa sudah tak terbendung. Semua orang yang berlalu lalang di jalan itu sekarang menatap ke arah Adil. Apakah urat malu Adil sudah putus? Sialan. Celsa makin malu dan memperdalam wajahnya pada dada bidang Adil.

***

Celsa turun dari bopongan Adil ketika mendengar deru nafas lelaki itu tersenggal-senggal.

"Ish, kasian lo kecapean. Apalagi ini jalannya naik loh," Celsa menggapai rambut yang menutupi dahi Adil. Lalu mengelap keringat dengan lembut, tapi tatapannya penuh menghakimi saat selesai.

"Tuhkan, lo kecapean! Gw gak mau lo kecapean lagi gara gara gw! Nanti dingin lagi," protes Celsa.

Adil tertawa kecil, lalu menduwil hidung mungil gadisnya. "Inilah yang dinamakan perjuangan cinta!"

"Iya, iya. Coba gw tanya, diajarin siapa?"

"Diajarin Andri!" sahut Adil sembari menggaruk tengkuknya yang tak gatal.

"Dasar anak didikan Andri! Jangan-jangan nanti putus sama gw, doyannya cowo ke cowo," maki Celsa tertawa. Tapi tawaannya terhenti ketika teringat gadis itu menatap pohon yang tak juga asing bagi matanya. Kapan dia ke sini?

Mata Celsa mengelilingi keadaan sekitar. Tak ada apa apa, hanya ada rerumputan dan pohon lebat. Sampai tiba tiba ingatan menerobos masuk pada benaknya. Seakan semuanya terulang.

"Lo gak ada niatan untuk bunuh gw, kan? Atau mungkin lo sengaja bawa gw ke sini karena mau dorong gw?" Celsa bertanya beruntun. Seakan pertanyaan itu spontan keluar dari mulutnya. Ia memang percaya pada Adil, tapi ingatannya berpikir jika Adil akan melakukan hal buruk padanya.

Kaki Celsa melangkah mundur, mulai menjauh dari Adil. "Gw mau pulang, gw gak mau di sini!" pintanya memaksa. Nadanya terdengar agak lirih karena air mata berhasil menerobos keluar.

Adil mengernyit bingung. Ia tak mengerti apa yang ditakuti Celsa padanya. Lagi pula mana mungkin dia akan mendorong dan membunuh gadis yang ia cintai. Tak masuk akal.

"Tenang, bon. Gw gak akan nyakitin lo," titah Adil, kakinya melangkah mendekati Celsa, tapi semakin ia mendekat, Celsa makin menjauh.

"Bon, berhenti. Lo bisa jatuh kalo terus mundur. Di sana jurang, nanti lo celaka," Adil memperingati, kakinya berhenti. Jika saja dia terus berjalan dan mendekat, Celsa akan jatuh.

"Jangan bunuh gw, gw mohon..." isak Celsa. Kakinya gemetar hebat, tubuhnya benar- benar tak ada tenaga, hilang keseimbangan. Ia takut kejadian dulu terulang.

Tubuh Celsa terhuyung ke belakang, refleks kedua telapak tangannya menutup mata. Ia seakan sudah pasrah dengan apa yang akan terjadi selanjutnya.

Apakah dengan jatuh dari ketinggian bukit akan membuat wanita yang tak lain adalah mamahnya akan senang? Apakah Rini akan sedih atau malah tertawa licik? Atau Rini akan kembali dengan ayahnya tanpa ada rasa bersalah? Jika jawabannya iya, maka Celsa rela terjatuh dari atas bukit menuju jurang sekarang juga.

***

Udahin ajalah gak jelas. Pusing aing.

Follow instagramku
@_miaag22

Seeyou.
Salam Manis istri sah Mas Terang dan Tumcial♡.

Pacar Koplak [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang