Bab 8

90 52 77
                                    

  "Ya, good night," pamit Sidqi mengakhiri panggilan WhatsApp dengan Sqarr.

  Rencananya, lima atau tujuh hari ke depan ia dan Sqarr pergi ke Indonesia. Sidqi menepati janjinya dengan Sqarr dan 'dia'. Malam ini, Sidqi merenung sembari menatap bintang-bintang yang bersemayam menemani candra pada bumantara.

  Sejujurnya, Sidqi terluka dalam fisik dan psikisnya. Selama empat tahun hidup di negara orang. Kini ia sudah mengalami asin, kecut, pahit, manis, bahkan betapa hambarnya hidup tanpa dampingan keluarga.

  Memejamkan mata, Sidqi menikmati angin malam dari jendelanya yang terbuka. Ponselnya sempat hilang beberapa minggu, bahkan pernah berbulan-bulan hingga ia harus merogoh kocek lebih untuk membeli yang baru dan kembali mengurus segala tetek-bengeknya. Perjalanan empat tahunnya berhasil terbalaskan dengan membawa gelar sarjana di awal namanya.

  "Kamu bagaikan lebah yang berdengung, membuatku bingung." Sidqi menatap langit malam yang menggelap dengan menumpukan lipatan tangan pada ambang jendela.

  "Di sini hampir tidak ada lebah, mungkin bukan habitatnya. Sama seperti menghubungimu, tidak lagi menjadi prioritasku," gumamnya berpuitis.

  Sesak. Hati berdenyut nyeri ketika pandangannya mulai mengabur. Dengan tersenyum ia berkata, "Lebah itu hebat. Berhasil mengubah sari bunga menjadi madu dan membawa ke sarangnya. Jika ada yang mengganggu, tak segan-segan mengentupnya."

  Mulai berkaca-kaca, ia memejamkan mata. "Kamu pun hebat. Berhasil membuatku mencintaimu dan terjebak di dalamnya. Bila ada yang meninggalkanmu, kenangan tentangmulah yang menyiksanya."

  Malam sudah larut, Sidqi pun tertidur dengan membenamkan kepala pada lipatan tangannya. Jendela masih terbuka, mungkin anila bersedia membawakan pesan rindunya pada 'dia'.

***

  "Tuku apa awakmu?" tanya seorang siswa pada teman di hadapannya.

  Pemilik wajah bundar dengan kulit sawo matang itu tersenyum dan mengangkat botol sodanya. "Ndi pesenane guru?" tanyanya balik.

  Mengernyit. Rahang tegas dengan wajah tampan itu berusaha kembali mengingat suatu hal. Kemudian, ia menepuk dahi dan menghela napas lelah. Ia melupakan sebuah amanah. Dengan malas, ia berbalik dan kembali menuju supermarket.

  Deg!

  Hampir saja menabrak seorang siswi, mereka terdiam dan saling hanyut bertatapan. Si gadis menurunkan pandangan pada name tag yang tertera di dada kiri si cowok.

  Ardi Alfavat

  Begitulah ejanya dalam hati. Cowok berwajah bundar itu menatap dari kejauhan adegan mereka yang seperti akan terjadinya cinta pada pandangan pertama.

  "Cie!"

  "Ehem!" goda teman-teman si cowok rahang tegas.

  Tersenyum begitu tipis, tapi cowok berwajah bundar itu mampu melihatnya. Mungkinkah cowok berwajah bundar tertarik kepada gadis yang hampir bertabrakan dengan temannya?

  "Ardi, rek!"

  "Aja lali pesenane guru!"

  "Wah, cewek doang gercep!"

  Teman-temannya bersorak secara bergantian ketika Ardi memberikan senyum hangat pada gadis itu.

I am (not) okay [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang