Ceklek!
"Aku pulang!" teriak pemuda berperawakan bahu lebar dengan melepas sepatu sembari menenteng sebuah novel.
Wanita yang tadinya menyeruput secangkir teh, kini menyipitkan mata dengan meletakkan kembali cangkir teh pada meja di sampingnya. Tangannya meraba meja di sisi lain dan memasangkan kacamata berbingkai hitam. Pandangan jarak jauh yang tadi mengabur pun sudah jernih. Betapa terkejutnya beliau, pemuda itu sudah berjongkok dan tersenyum menyapanya.
"Mama nggak istirahat?" tanya pemuda itu dengan menyentuh lembut kedua tangan keriput sosok bidadarinya.
"Makan malam dulu, yuk!" ajak beliau dengan menganggukkan kepala. Usianya sekitar tujuh puluhan.
"Sidqi, Mama dari tadi melarang kita makan malam sebelum kamu pulang. Jadi, sekarang kamu harus tanggung jawab!" sahut wanita paruh baya yang tiba-tiba muncul di balik gorden dengan mengacungkan entong sayurnya.
Pemuda bernama Sidqi pun terkekeh. "Dengar, 'kan, Ma? Kakak masih galak seperti dulu. Mama mau makan sama Sidqi, 'kan?" bisiknya membuat sang Mama mengelus dengan sayang rambut Sidqi.
Sangat hati-hati, Sidqi mengangkat tubuh Mama menuju ruang makan. Dibandingkan empat tahun yang lalu, Mama sudah berubah banyak sekali.
Kulit keriputnya makin terlihat jelas. Ukuran tubuhnya mengerut dan semakin kurus. Rambutnya sudah memutih hampir di tiap inci. Beratnya pun bisa diperkirakan kurang dari lima puluh kilogram. Seperti inilah dampak jika orang tua ditinggal anaknya merantau ke negeri orang. Tidak bisa merawat diri sendiri akibat penyakit alzheimer—pikun—menggerogoti memori ingatannya.
***
"Ma, Sidqi izin kumpul dengan teman-teman. Boleh?" tutur Sidqi sambil memijit kaki Mama.
Tersenyum. Beliau bertanya, "Tidak ada perempuan, 'kan?"
Sidqi tertawa dan menggelengkan kepalanya. Sebuah pertanyaan yang dari dulu sudah Mama terapkan ketika Sidqi izin ke luar.
"Pasti ada, Ma. Sidqi mau kumpul di kafe. Pelanggan di sana pun ada yang perempuan, pekerjanya juga mayoritas perempuan, dan mungkin saja pemilik kafe itu seorang perempuan. Namun, teman-teman Sidqi laki semua, kok. Mau Sidqi sebutkan?"
Mengangguk. Mama tertarik siapakah teman-teman yang akan kumpul bersama putranya.
"Jadi, di sana nanti ada Ardi–"
"Seingat Mama, Ardi yang gemuk, ya?"
Sidqi terkekeh. "Kalau itu Rymba, Ma. Yang anaknya Pak Maja, 'kan?"
Mengangguk dan ber-oh ria. "Terus, Ardi itu perempuan?"
Sebetulnya, Sidqi sedih karena Mama dengan perlahan akan melupakan dirinya karena pikun tersebut. Namun, Sidqi berusaha membahagiakan Mama dengan tertawa terpingkal-pingkal. Sidqi pun menjawab di sela-sela tawanya, "Bukan, Ma."
***
"Where is Jason?" Satu pertanyaan terlontar mulus dengan nada datar dari mulut Sidqi.
Menyeringai. "Ayolah! Hal itu sudah hampir dua tahun yang lalu, kayak cewek aja sukanya ungkit-ungkit," timpal seorang pemuda dengan satu anting di telinga kirinya.
Menyisir rambut ke belakang. Sidqi tersenyum meremehkan dan berkata, "Butuh kaca? Antingnya cocok nih buat adekmu, Di."
Mengernyit tidak suka. Pemuda dengan anting itu mengembuskan napas secara kasar.
"Wait, wait! Come on, men! Sudah pada berumur, 'kan?" sela Ardi mulai angkat bicara untuk melerai adu tatapan antara Sidqi dengan Tarfi—pemuda dengan anting.
Menepuk bahu Sidqi, Rymba pun turut menasihati, "Tidak ingin harimu rusak, 'kan? Lupakan sejenak."
"Gue Tarfi Yama, sorry tadi cari gara-gara. Jason sudah tenang di alam sana. Bukan gue pelakunya. Semenjak pertarungan di markas si cewek blasteran itu, gue cabut ke Indonesia karena bokap lo ngadu ke bokap gue. Akhirnya gue dijodohin. Terakhir dari Italia, gue sempetin ke sini," papar Tarfi dengan mengambil selembar foto yang tersimpan sedikit tergulung pada saku celananya.
Terpampang sebuah kuburan dengan nisan atas nama Jason Smith. Menelan ludah dan mengepalkan tangan. Sidqi berusaha menahan amarahnya dengan segera menyimpan foto tersebut pada saku jaketnya.
"Ehm, tadi gimana ketemuan sama Mifah?" tanya Ardi menggunakan skill-nya untuk mengalihkan pembahasan yang mencekam.
"Dia tampak terburu-buru. Banyak juga perubahan pada dirinya. Lalu ... benar, novelnya bercerita seputar tentang kepergianku, penyakit Ardi dan juga ... lamaran Rymba." Tersenyum tipis, Sidqi menoleh pada Rymba.
Ardi mengernyit, tidak percaya jika satu lagi sahabatnya mengincar wanita yang sama dengannya.
Rymba menggeleng kuat. "Nggak diterima, kok!"
Ketiga pemuda di sekitar Rymba pun melongo. Benarkah begitu reaksi seseorang ketika ditolak? Ajaib memang.
"Lo beneran sehat?" sarkas Tarfi dengan bersedekap.
"Ya iyalah, dodol!" geram Rymba dengan menimpuk kepala Tarfi menggunakan sebuah novel berkisar tiga ratus halaman.
Menyemburkan tawa. Keempat pemuda ini kembali dalam kondisi tidak saling mengancam.
"Cewek blasteran itu namanya siapa?" tanya Tarfi mengalihkan topik sembari mengelus perlahan kepalanya.
Memicing. Sidqi menatap curiga. "She is mine. Jangan berani incar dia!" ancamnya sedikit bergurau.
"Sudah menentukan pilihan, ya!" sahut Ardi dengan terkekeh sembari menepuk pelan bahu Sidqi.
Menghela napas. Sidqi menimpali, "Lebih baik dicintai tanpa dikhianati. Dibandingkan mencintai tanpa pernah dicintai kembali. Aku berhenti mengharapkan yang tidak pasti dan akan memulai pada lembar baru di hati."
***
Haaii semua pembaca I am (not) okay!
Semoga tetap diberikan kesehatan untuk kita semua!Boleh atau tidak, kasih tahu apa kesan pertama kalian ketika membaca cerita ini?
Tokoh manakah yang membuat kalian semakin menantikan lanjutan part?
Yang terakhir, cuplikan adegan mana yang paling membekas di ingatan kalian?
Regard,
Mtajnh💚***
Tanggal : 28 September 2020
Mtajnh
Vote and comment, please!
KAMU SEDANG MEMBACA
I am (not) okay [Tamat]
Teen Fiction"Kode Almond satu!" titah Sqarr pada beberapa pria berbadan besar di seberang telepon. Sqarr memberi nama Kode Almond satu, karena perintahnya harus diutamakan dalam tempo sesingkat-singkatnya. Dua pemuda yang mencari ulah tadi sudah terkapar bers...