Bab 14

90 52 33
                                    

  Jantung berdetak tak beraturan, besok adalah hari yang sungguh menegangkan untuk Sqarr. Malam sudah larut, para bintang bertengger sambil menari-nari menemani candra. Bumantara kian menampilkan betapa kelamnya warna hitam. Bintang terbesar sedang menyiapkan sinarnya untuk mewarnai semesta di esok hari.

  Sqarr duduk dan menatap kelap-kelip lampu jalanan yang ramai. “Ibunda, tidak maukah engkau menemani Sqarr? Bukankah Ibunda sudah lama menanti hari esok? Tidak apa-apa jika Ayah tidak datang, asalkan Ibunda ada menemani Sqarr. Seperti saat hujan mengguyur, Sqarr rindu ketika Ibunda datang membawakan payung. Masih kekanak-kanakan, ya?” lirih Sqarr disertai kekehan renyah teringat momen bersama mendiang Ibundanya.

  Menghela napas, Sqarr bangkit dari duduknya menatap jendela. Tenggorokannya tercekat dan terasa kekeringan. Sebetulnya, Sqarr sangat menghindari mengambil air hangat di dapurnya. Rumah besar ini akan sangat gelap apabila jam dinding telah menunjuk pada angka sebelas di malam hari.

  “Baru kali ini aku ditinggal sendirian dalam rumah sebesar dan segelap ini,” gumamnya dengan berdecak sebal ketika menatap area tangga yang gelap total.

  Perbatasan cahaya ada di anak tangga paling atas, selebihnya hanya warna hitam. Kamar Sqarr dibiarkan menyala dua puluh empat jam. Sedangkan ruangan lainnya memiliki waktu-waktu tertentu agar tidak repot menghidup-matikan saklar. Ide ini tentunya dari Jacob—mendiang kakak Sqarr. Entah apa yang dikerjakannya sehingga semua fasilitas ini atas nama Jacob sebelum dibalik nama menjadi kepemilikan Sqarr.

  “Jason, sekarang aku takut gelap bukan karena trauma. Tapi ....”

  Wussh!

  Sqarr memejamkan mata, angin berembus dan membangunkan bulu kuduknya. Kaki Sqarr gemetar padahal baru turun satu anak tangga. Tangannya memegang erat pada tiang tangga. Sejak dari Indonesia, fobianya raib entah kemana.

  “Ada ... HANTU!” jerit Sqarr dengan panik meraba saku celananya mencari benda pipih. “Ponsel, mana ponsel!”

  Menepuk dahi, Sqarr meninggalkan ponselnya di atas nakas. Ia khawatir jika ‘anak kecil’ itu lebih dulu mengambil ponselnya. Yap, inilah alasan baru Sqarr ketika takut dalam gelap. Digantikan ketakutan munculnya hantu khas Indonesia seperti: Poci, Kunti, dan yang paling mengkhawatirkan adalah ‘anak kecil’—tuyul.

  “Gawat! Nanti nggak bisa pesan cokelat Almond kalau lagi mager! Oh, yang paling menakutkan adalah ... NGGAK BISA CHAT DOI!” teriaknya dengan kecemasan berlebih.

  Sqarr harus berlari tergopoh-gopoh dari anak tangga menuju kamarnya yang harus melewati lorong beserta belokan tajam.

  “Gila! Tikungannya tajam bener! Cocok jadi pelakor!” umpatnya mulai tidak waras sambil kembali menyeimbangkan tubuh meski sempat terantuk dinding karena belokan.

  BRAK!

  “ASTAGA!” seru Sqarr dengan bersandar pada pintu yang baru saja ditutupnya secara paksa.

  Kakinya melemas hingga punggungnya merosot dan terduduk pada lantai marmer yang dingin. Tenggorokannya semakin kering bak kemarau di padang pasir. Bukan helaan napas lega yang Sqarr embuskan. Namun, kedua bola matanya seakan mencuat keluar dari tempatnya.

  Apa penyebabnya? Ponsel tidak ada di atas nakas atau justru anak kecil itu yang ada di hadapannya? Kedua jawaban yang salah total.

  “Aku ... SALAH KAMAR! INI GUDANG, BEGO!” bentaknya memaki diri sendiri dengan memukul kesal kepalanya.

  Ceklek! Ceklek!

  Pintu terkunci. Sqarr memijit pelipisnya yang berdenyut. Ia baru ingat jika hanya gudang yang bisa terbuka dari luar, tidak dari dalam.

  Kata orang, sebelum pernikahan pasti ada cobaan. Entah tiba-tiba tidak direstui, datangnya mantan pujaan hati, atau bahkan hutang yang melilit. Akan tetapi, Sqarr tidak pernah membayangkan bahwa cobaannya seperti ini.

  “Tuhan, inikah cobaan sebelum menikah? Dengan terkunci di gudang hanya karena ingin menyelamatkan ponsel dari tu–“

  Tok! Tok!

  Menjauh dari pintu, Sqarr bahkan belum menyelesaikan kata terakhirnya. Ia meringkuk pada pojokan ruangan, tidak peduli kotoran apa yang didudukinya. Gemetar ketakutan, tidak lagi terbayang betapa kejamnya sang Ayah membunuh Jacob. Namun, film Indonesia yang menampilkan ‘anak kecil’ benar-benar terlintas kembali di pikirannya.

  Dengan mengepalkan tangan, Sqarr bergumam, “Jangan teriak, jangan teriak, jangan teriak, jangan ....”

  Ceklek!

  “HUUAA!” jerit Sqarr membenamkan wajahnya pada lipatan lutut.

  “Hah?! Ada apa? Dimana? Kenapa? Siapa? Kapan?”

  Sqarr terdiam setelah pendengarannya menangkap suara seseorang yang akan mendampinginya besok. Perlahan, Sqarr mengangkat wajahnya. Menatap tanpa berkedip pemuda yang mengguncang lengannya. Mulut Sqarr menganga, tidak ada kata yang mampu diucapkannya.

  Sqarr menggeleng dan mengerjapkan mata, ini bukan mimpi buruk ternyata! Ah, Sqarr melupakan sebuah fakta. Tidak ada 'anak kecil' di Italia, Sqarr baru saja mengingatnya. Hanya di Indonesia, hal mistis lebih ditakuti daripada kisah kelam.

  “Apakah aku mengejutkanmu?” Pertanyaan yang membuat Sqarr naik pitam.

  Haus, capek, takut, gelisah, dan itu ternyata hanya kecemasan berlebih. Pelakunya justru tersenyum tak berdosa. Tentu tahu apa yang ingin Sqarr lakukan sekarang, tapi ia tidak akan melakukannya jika pemuda ini adalah calon suaminya.

***
Haaii semuanya! Apakah kalian sehat? Semoga tetap diberikan kesehatan, ya! Jangan lupakan makan dan jauhi begadang!

Terima kasih banyak atas dukungan kalian selama kurang lebih sebulan ini😆💚!

Aku pastikan jika hari ini cerita I am (not) okay akan TAMAT!

Tunggu epilognya, ya!

Regards,
Mtajnh💚

***
Tanggal : 05 Oktober 2020
Mtajnh

Vote and comment, please!

I am (not) okay [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang