Bab 12

73 51 45
                                    

  Seusai couple challenge ronde pertama, Mifah sudah tidak berniat lagi untuk melanjutkan ronde kedua hingga akhir. Syukurlah acara diadakan pada halaman belakang, sehingga ia bisa menyingkir dari kerumunan. Setidaknya, Mifah bisa berdalih ada panggilan alam.

  “Izinkan aku menemanimu.” Tiba-tiba saja Sidqi sudah berdiri di sampingnya dengan sama-sama menatap ke luar jendela.

  Menghela napas, jantungnya berdetak dengan tempo tak beraturan. “Kamu berhutang sesuatu padaku,” timpal Mifah enggan menatap Sidqi.

  “Ya, kamu benar.” Dengan menunduk, Sidqi menjawab, “Aku berhutang kabar padamu.”

  Mifah menoleh dan menyahut, “Tidak hanya itu.”

  “Ya, aku harus menceritakan tentang gadis itu.” Sidqi menoleh dengan sesak yang melingkupi hatinya ketika memandang begitu dalam tatapan Mifah.

  “Ada banyak lagi,” timpalnya dengan mengalihkan pandangan.

  Menelan ludah susah payah. Mifah masih menempati sebagian besar ruang hatinya. “Aku tidak tahu harus mulai darimana. Bisa tanyakan apa yang ingin kamu tahu?”

  Memejamkan mata. Dengan berat hati, Mifah pun bertanya, “Apa jadwal kuliahmu begitu padat?”

  “Tidak terlalu. Bagaimana dengan rutinitasmu?”

  Mifah menggeleng. “Berusaha menghubungimu.”

  Sidqi menatap daun-daun yang seakan menari begitu senang mengejeknya. “Ponselku sempat hilang, mungkin tiga atau empat kali. Aku bahkan tidak bisa menghubungi keluargaku dalam waktu yang lama.”

  “Lalu, apa maksudmu memasang status dengan wanita bermata biru? Aku yakin tidak salah lihat, wanita bermata biru itu adalah wanita yang kamu bawa, ‘kan?”

  Sidqi mengangguk. “Ya, kami sedang sarapan saat itu. Tapi aku tidak pernah memasang status,” elaknya sedikit mencurigai Sqarr.

  Tersenyum miring. “Sudah membaca chat lalu memblokir. Itu bukan kamu? Aku rasa ... ponselmu ajaib jika bisa melakukannya sendiri. Lain kali, aku nitip, ya,” sindir Mifah begitu menusuk.

  Mengernyit bingung. “Sungguh, itu bukan aku. Bahkan, aku sering menatap langit sambil berharap jika kamu melakukannya juga. Aku pun tidak hafal nomormu.”

  “Tentu, aku selalu menatap langit hanya demi menyalurkan rindu untukmu. Ah, sekarang tidak lagi.” Mifah membuang napasnya dengan begitu sesak.

  “Rymba melamarmu, tapi kenapa malah ditolak?” tanya Sidqi mengubah arus pembahasan.

  Mifah bersedekap. “Harusnya kamu sudah tahu apa jawabanku.”

  Mengernyit heran. Sidqi pun menoleh. “Ha?”

  “You’re my reason. Hahah, lucu sekali diriku ini. Mengharapkan yang tidak mau diharapkan.”

  Menyisir rambutnya ke belakang. “Kenapa ketika aku pergi, kamu justru mengungkapkan itu? Tidakkah lebih baik saat awal aku menyatakan menyukaimu?” tanya Sidqi kembali menatap langit.

  Tersenyum tipis. “Bukankah dari awal aku sudah memberi peringatan? Lalu, kenapa masih bertahan?” timpal Mifah.

  “Kamu membuatku nyaman. Bagaimana bisa aku berpindah haluan?”

  Tertawa hambar, Mifah berjalan mendekati jendela. “Kalau begitu, tidak perlu menawari bantuan jika kamu sendiri yang terjun dalam jebakan.”

  “Ak-aku ....”

  “Kembali pada topik awal! Siapa yang mengendalikan ponselmu?” Mifah kali ini cukup tegas.

  Menghela napas perlahan. “Seingatku, hanya Sqarr yang pernah aku mintain tolong untuk bawakan ponselku,” jawab Sidqi jujur.

I am (not) okay [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang