Tampak dua perempuan dengan gaun hitam yang membalut tengah mengobrol. Langit sudah menunjukkan warna lembayung. Kawanan burung hendak bersiap ke sarangnya. Angin malam mulai merasuk melalui pori-pori yang terbuka.
Salah satu perempuan mengerutkan kening, merasa iba pada temannya. "Are you okay?" cemasnya.
"Sure!" sahut temannya dengan semangat, tapi perlahan air mukanya meredup dan berubah sendu. "I am ... okay." Jeda tersebut seolah menyelipkan kata 'not' pada tengah kalimat.
Menghela napas berat. "Mifah, aku tahu kalau-"
"Aku bahagia! Sekarang, apa yang aku inginkan sejak SMP terwujud. Bersama dengan Ardi. Ingat, 'kan?" cetus perempuan yang disebut Mifah dengan tersenyum namun matanya berkaca-kaca.
Menunduk. Sqarr semakin merasa bersalah. Jujur saja, jika ia yang ada di posisi Mifah pasti sudah depresi. Namun, Sqarr harus bagaimana? Hubungan mereka lebih rumit daripada yang mampu dibayangkan. Rumit bila dipersatukan dan sakit bila dipisahkan. Mungkin, jika Jason ada di dekatnya. Sqarr bisa sedikit lebih nyaman dan tidak lagi merasa disudutkan secara tidak langsung.
"Jas, kamu dimana?" gumam Sqarr dengan memandang screen ponselnya.
Bagai video yang terputar dalam benak Sqarr ketika memejamkan mata. Kenangan bersama Jason terlihat begitu menyenangkan. Kini, ia tidak tahu keberadaan dan keadaan Jason. Nomornya bahkan tidak bisa dihubungi, tidak seperti Jason yang selalu fast respon.
"Jason! Tungguin!" jerit Sqarr menyamakan langkah kakinya.
Jason terkekeh. Ia meledek, "Makanya, jangan sok-sokan nggak mau digandeng!"
Sqarr menggembungkan pipi dengan menantang, "Memang. Maunya dipeluk, kok!"
Jason tersenyum dan memeluk Sqarr. "Aku harap, kamu tetap bahagia."
Beralih lagi pada rekaman memori dalam pikiran Sqarr. Bergulir layaknya kenangan itu tidak akan pergi meninggalkan Sqarr seperti seseorang yang ada di dalamnya.
"Hai!" kejut Mifah ketika Sqarr mencarinya sudah hilang dari tempatnya tadi berdiri.
"Se-sejak kapan?" gugup Sqarr menjadi urung untuk meminta maaf.
Mifah tersenyum. "Ada yang mau aku bicarakan denganmu, tapi tidak di sini."
"Ehm, i-iya. Lebih baik di dalam." Sqarr takut-takut menatap langit yang sudah hampir habis dilahap kegelapan.
Sqarr menuntun ke kamarnya. Membahas hal yang mungkin akan saling menyakiti sebaiknya secara pribadi. Mifah segera bersandar pada dinding, sungguh berat mengatakannya.
"Sejak kapan kalian bertemu?" tanya Mifah memberanikan diri membuka obrolan.
Sqarr menelan ludah, ia tidak begitu ingat. "Mungkin ... dua tahun yang lalu?"
Mifah mengangguk. "Apa kamu tahu jadwal kuliahnya? Masih sempatkah dia menemuimu?"
"Dia tidak begitu sibuk, tapi aku tidak tahu pasti jadwalnya. Dia selalu bisa meluangkan waktu untuk sekadar bertemu. Ada apa?" timpal Sqarr sedikit terusik karena ini semacam interogasi.
Mifah menggeleng dan tersenyum. "Hanya memastikan."
"Kamu tidak mempercayainya?"
"Aku tidak mudah percaya lagi. Terutama yang menyangkut pada cinta. Kamu tentu tahu apa alasannya, karena kisah kelam kita membahas sosok yang sama."
Sqarr mengernyit. "Apa maksudmu?"
Mifah terkekeh. "Kata orang, cinta pertama anak perempuan adalah ayahnya. Akan tetapi, hal itu tidak berlaku lagi untuk kita."
KAMU SEDANG MEMBACA
I am (not) okay [Tamat]
Teen Fiction"Kode Almond satu!" titah Sqarr pada beberapa pria berbadan besar di seberang telepon. Sqarr memberi nama Kode Almond satu, karena perintahnya harus diutamakan dalam tempo sesingkat-singkatnya. Dua pemuda yang mencari ulah tadi sudah terkapar bers...