Berjalan santai melewati gerombolan bertopeng, Sqarr tidak terlalu peduli dirinya menjadi sorotan publik. Hanya Sqarr yang berpakaian serba hitam tanpa topeng. Rambutnya tergerai lurus, begitu indah dan memukau. Tatapannya mampu membuat takluk meski tanpa senyum. Menunggu lift terbuka, beberapa pemuda bermata biru dan tembaga mengajaknya berbicara dan berkenalan. Namun, Sqarr tetap diam menatap penuh harap agar lift segera terbuka.
Ting!
Lift terbuka, kosong melompong tak ada orang satu pun. Sqarr segera masuk sebelum pemuda-pemuda yang mendekatinya ikut menerobos masuk. Hampir saja seorang pemuda bermata tembaga berhasil masuk jika tidak ada wanita berambut merah yang menarik daun telinganya. Sqarr jadi teringat pada negara kepulauan–Indonesia. Momen di saat mendiang Ibunda menarik daun telinga Ayah karena memergoki berbuat jail pada kasir supermarket.
“Senyummu manis,” ujar seorang pemuda yang mengejutkan Sqarr.
Menoleh ke kiri, sejak kapan dia masuk lift? Pemuda tampan yang dilihatnya dalam foto profil telah berada di sampingnya. Wait, bukankah di telepon ia mengatakan tidak mengetahui Sqarr? Lalu, mengapa kini ia mengatakan seolah-olah sebaliknya? Dasar buaya!
Mendengus, Jason menyisir rambutnya ke belakang. “Bukankah dari pukul dua hingga enam memiliki banyak jeda kosong?”
“Nope.”
Jason mengernyit. “Dimana topengmu?”
“Home.”
“Come on, aku mengajakmu berdansa. Tidakkah baca isi suratku?”
“IDK.”
Menghela napas dan mengacak-acak rambut. Butuh ekstra kesabaran menghadapi yang seperti ini. Lebih baik diam, mungkin saja ada perubahan. Misalnya saja, berteriak dan cerewet.
BLAM!
Lampu padam, lift terhenti dan menggantung begitu saja. Sinyal hilang entah kemana. Menelan ludah, Sqarr benar-benar khawatir sekarang. Tangan mulai berkeringat, napas menjadi tercekat, dan hati yang gelisah teramat. Mengepal kedua tangan, Sqarr berusaha menahan suatu hal yang kambuh. Sekuat tenaga menghilangkan bayangan kejam pada pikirannya. Matanya mulai berkaca-kaca dengan badan yang sudah gemetar ketakutan.
Sqarr meringkuk di tempat, isakan kecil meluncur begitu saja. Kepalanya memberat berusaha mengenyahkan momen-momen menakutkan di pikirannya.
“Sqarr, where are you? Everything gonna be okay, calm down. I'm here with you. Tell me how you feel,” tutur Jason dengan berusaha mendekati sumber suara.
“I–i’m not okay,” cicit Sqarr membenamkan wajah pada lipatan lutut.
Jason mengambil ponsel di saku kiri dan menyalakan tombol senter pada pengaturan. “Come here, i wanna hug you!”
Sqarr mendongak dan memeluk Jason tanpa berpikir dua kali. Matanya sembab, isakan masih menjadi melodi dalam lift yang gelap dan menggema. Jason memahami kelemahan Sqarr seusai membaca terus-menerus buku harian yang diberikan Jacob Scarlett–mendiang kakak Sqarr.
“I’m here with you, right?”
Sqarr mengangguk dalam dekapan Jason. Sedikit bisa kembali mengontrol napasnya yang terisak karena Jason memakai parfum aroma coffee.***
Berbagai kertas tersebar berserakan di atas meja berwarna cokelat muda. Tulisan tangan membalut rapi dengan berjejer, seolah-olah ada komandan yang siap merapikan barisan. Ruangan 6 x 6 meter bernuansa cokelat muda, perpaduan aroma kopi dan manisnya cokelat Almond. Dua insan tengah bergelut pada hamparan aksara. Lihatlah sang gadis, keningnya berkerut sembari tersenyum kecut.
KAMU SEDANG MEMBACA
I am (not) okay [Tamat]
Fiksi Remaja"Kode Almond satu!" titah Sqarr pada beberapa pria berbadan besar di seberang telepon. Sqarr memberi nama Kode Almond satu, karena perintahnya harus diutamakan dalam tempo sesingkat-singkatnya. Dua pemuda yang mencari ulah tadi sudah terkapar bers...