Berbicara tentang traumatik, kau tidak bisa sembarang berpendapat apakah hal itu memang hal besar atau hanya hal kecil biasa. Siapa yang berhak menentukan besar atau kecilnya beban yang bisa merusak otak seseorang?
Dalam kehidupan yang ini, Gu Jeongyeon memang kurang beruntung dalam banyak hal. Kadang ia berpasrah, kadang berusaha sabar dan ada pula saatnya ia geram atas apa yang terjadi pada dirinya selama ini.
"Takdir tidak adil," katanya seperti biasa seraya membenturkan kepala.
"Memang, makanya kau harus terbiasa." Yoongi terkekeh lirih di seberang telpon. "Jangan lupa sore ini, ya? Mungkin akan sedikit lama, sampai malam mungkin."
"Yasudah, kututup." Jeongyeon mengakhiri bicara secara sepihak, lantas secara perlahan ia mengangkat kepala dari setir dan kemudian menoleh ke luar jendela mobil. Jimin berjalan dengan tatapan lurus, aneh memang. Kemudian masuk ke dalam mobil.
"Kau tidak bawa apa pun?"
Jimin tampak melongo sesaat. "Aku saja datang tanpa membawa apa pun, bahkan pakaian pun tidak." Ia mengingatkan. Tapi memang benar begitulah adanya. Sehingga Jeongyeon dibuat kehabisan kata-kata untuk menyahut lagi, ia terdiam dan memilih menjalankan mobil saja.
"Apa aku harus membayar sebagai penyewa?" tanya Jimin.
Jeongyeon menoleh ke samping dan menghela napas panjang. "Memangnya kau punya uang atau pekerjaan?" Maka Jimin terdiam saat itu juga. "Tinggal saja beberapa waktu. Aku butuh kau."
"Untuk apa?"
"Berperang."
Namun, yang ia maksud perang di sini bukanlah perkelahian yang mungkin berakhir tragis ataupun memalukan antara si pemenang dan pecundang. Ini mungkin sedikit gila jika dibahasakan. Jeongyeon berniat menjadikan Jimin sebagai pionnya dalam menjatuhkan Kwon Haejoon, ayah tirinya.
"Nona."
"Y-ya?" Jeongyeon menoleh perlahan begitu Jimin memanggilnya dengan panggilan yang aneh. Bukan hanya itu, tapi Jimin memang aneh secara keseluruhan.
Jeongyeon berakhir terdiam begitu sorotnya bertemu dengan Jimin. "A-apa yang-" bicaranya terputus. Secara spontan ia menghentikan mobil, tidak peduli meski pengendara di belakang sana menggerutu dan mengumpat padanya.
Tangan Jimin memegangi bahunya yang tegang, lalu menariknya untuk lebih dekat dan semakin dekat. Aroma hembusan napasnya bahkan dapat tercium jelas. Dalam satu garis, sorot keduanya lurus berjumpa. Pupil Jimin membesar lalu mengecil. Iris matanya yang berwarna merah tampak menggelap.
Semenit dua menit awalnya Jeongyeon tegang hingga nyaris hanyut dalam hipnotis, tetapi pada menit berikutnya ia mengedipkan mata. "Astaga, kau ini kenapa?!" gerutunya seraya menepis tangan Jimin pada bahunya.
Kemudian Jeongyeon menjalankan mobil kembali. Sedangkan Jimin kebingungan, ia gagal mengambil alih pikiran wanita yang satu ini.
Padahal Jimin telah lumayan lama menempeli wanita yang satu ini, tapi entah mengapa ia tidak bisa mempengaruhinya. Mungkin dari luar Jeongyeon terlihat kuat, tapi Jimin sendiri tahu bagaimana rapuhnya wanita ini dari dalam. Tapi anehnya, dirinya tidak bisa mempengaruhi. Apa penyebabnya?
KAMU SEDANG MEMBACA
Kalopsia: Lonely Sailing
WerewolfAkibat dari masa lalu yang kelam, Gu Jeongyeon mendedikasikan seluruh hidupnya untuk membalas dendam. Ia berpikir, segala duka yang hadir di jalannya adalah kesalahan dari seseorang dan memang sudah seharusnya ada yang bertanggung jawab. Pada upaya...