1.6 | Malam itu, ketika badai

184 65 18
                                    

|Dipublikasikan pada 02 Juni 2024|
|Oleh © janeruby37|

|Dipublikasikan pada 02 Juni 2024||Oleh © janeruby37|

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Ji, bagaimana jika kita menikah?"

"Tiba-tiba, hm?

"Tidak, aku sudah memikirkannya lumayan lama."

Entah sudah yang ke berapa kalinya, sejak lima tahun yang lalu, Jeongyeon selalu meleleh pada saat Jimin memeluknya dengan hangat seraya mengelus kepalanya, tidak lupa juga dengan bibir yang menempel di puncak kepalanya itu. Tidak peduli meski pandangannya tertutupi oleh dada Jimin yang sedikit terekspos gara-gara kancing sialan yang tidak melakukan tugas dengan semestinya itu, tetapi itu jauh lebih baik dari apa pun, sumpah!

Jangan lupa bahwa tiga tahun terburuk dalam hidup Jeongyeon usai kejadian mengerikan itu terjadi, satu-satunya yang berhasil menyelamatkan dirinya kembali hanyalah Jimin. Ia tidak butuh obat, tidak butuh dokter, ia hanya butuh seseorang yang datang menemani setiap kali rasa takut melanda, dan orang yang bersedia memeluknya sepanjang malam agar kembali tenang dan bisa tidur.

"Begitukah?" goda Jimin dengan suara rendah. "Ayo lakukan itu, tapi sebelumnya apa kau mau membantuku?" Kali ini Jimin menjauhkan wajahnya dari puncak kepala Jeongyeon, lantas memberinya tatapan mata yang dalam sekali.

"Tentu," jawabnya. "Apa itu?"

"Akan kuberitahu nanti, saat situasinya sudah membaik." Kemudian Jimin memberi kecupan singkat di atas bibir Jeongyeon, sebelum akhirnya kembali mendekapnya untuk masuk ke dalam rengkuhannya lagi. "Hari ini kau tampak kacau."

Selama bermenit-menit Jeongyeon larut dalam keheningan. Ia tidak tidur, entah memang karena tidak bisa, tetapi yang pasti matanya masih membuka segar menghadap dada Jimin membatasi dirinya. Lampu kamar masih dibiarkan menyala terang, warna cat cerah dari kamar lama Jeongyeon di rumah orang tuanya ini agak kontras dari warna dinding lainnya, apalagi ketika tersorot cahaya lampu. Karena tidak ingin membuang waktu dengan berjalan untuk menekan saklar, mereka lebih memilih untuk membiarkan lampu itu tetap menyala saja.

"Kau belum tidur, kan?" Jimin memastikan seraya terkekeh kecil. Akhirnya ia memutuskan untuk menurunkan badan, membuat posisi kepalanya setara dengan Jeongyeon. Tidak ada lagi pemandangan dada Jimin yang terbuka itu, melainkan wajah paripurna yang dihiasi dengan iris merah.

"Aku menemukan sesuatu tentang Seokjin. Kau ingat buku yang kutemukan beberapa waktu lalu?" tanyanya mencoba memastikan apakah Jimin ingat tentang itu. "Tidak kusangka itu milik Seokjin—maksudku cerita itu tentang Seokjin." Saat berkata demikian napas Jeongyeon mendadak tercekat, mengingat fakta bahwa sosok wanita yang dicintai kakaknya di kala itu telah meninggal dunia. Namun, ada hal lain lagi yang membuatnya merasa gelisah.

Kalopsia: Lonely Sailing Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang