Malam kian larut. Jeongyeon berdiri di balkon seraya merasakan angin malam yang berembus menerpa wajahnya. Beberapa menit yang lalu baru saja dia mengakhiri panggilan dari Mama, sebelumnya mereka membahas banyak hal tentang hasil pemeriksaan kemarin. Ada waktu baginya bercerita sedikit banyak tentang rasa takut yang terus menerus menggentayanginya tanpa letih.
Dan kini dirinya benar-benar merasa gelisah. Namun, di antara rasa gelisah itu sepasang tangan menyusup di pinggangnya membentuk lingkaran. Begitu menoleh ke samping, Jeongyeon mendapati wajah Jimin sudah berada dekat sekali dengan wajahnya, dan pria tersebut meletakkan dagu di pundaknya. Aroma Jimin tercium jelas, meski telah bercampur dengan keringat, aroma itu tetap tercium lezat seperti buah persik segar. Sedangkan wajahnya sedikit berminyak karena letih. "Aku tidak bau, kan?" tanya Jimin bergumam lirih. Sontak kalimat itu membuat Jeongyeon tertawa.
"Tidak!" balas Jeongyeon seraya membalik badan dan memukul dada Jimin. Mereka berhadapan, begitu dekatnya sampai Jeongyeon dapat merasakan embusan napas beraroma mint khas Jimin tercium jelas. Sedang Jimin harus menundukkan kepala agar dapat menatap wajah Jeongyeon. Dia memeluk erat sekali.
Jimin masih meniti wajah Jeongyeon dekat sekali, sembari sebelah tangannya berpindah ke leher si perempuan dan kemudian dia bisa memberikan ciuman pada bibir perempuan tersebut. Lumayan lama saling berpagutan, Jimin akhirnya membebaskan diri. "Tadi Yoongi kemari?" tanya Jimin.
"Ya, dia memberikan surat hasil pemeriksaan. Apa dia pergi menemuimu? Dan apa yang dia katakan?" Jeongyeon balik bertanya.
"Ya, dan dia bersama Seokjin," balas Jimin. Di sisi lain, Jimin menatap leher Jeongyeon yang masih meninggalkan sisa isapannya di sana. "Dia mengatakan sesuatu, tapi aku kurang mengerti, dan sekarang aku tahu alasannya. Apa dia melihat ini?" tanya Jimin seraya menyentuh lokasi itu dengan lembut.
Jeongyeon langsung mengiyakan. "Tapi tidak usah dihiraukan." Dan setelahnya Jeongyeon langsung mengajak Jimin untuk tidur karena yang dibutuhkannya saat ini hanyalah ketenangan ketika berbaring dengan menjadikan lengan Jimin sebagai bantalan, lalu Jimin memeluknya dengan erat sampai pagi hari. Sekiranya semua itu dapat menyelamatkannya dari mimpi buruk yang mencoba menelannya setiap hari.
Dan benar saja, mimpi itu datang lagi.
Di suatu tempat—entah-berantah—sesosok pria yang tidak asing berdiri di pojok tempatnya biasa beristirahat. Tempat itu usang. Di bawah sorot lampu gantung yang berdebu, dia mengamati sesuatu dari ponselnya. Tidak lama, dia menurunkan ponsel tersebut dan mematikannya. Di bawah cahaya remang-remang itu, dia kemudian mengangkat kepala perlahan, lalu suara tawanya menggelegar.
Kau bisa membayangkan wajahnya yang bengis dengan sorot penuh nafsu. Niat jahat yang tidak tertolong telah memenuhi kepalanya hingga tidak akan ada rasa kasihan meski perempuan yang tengah meringkuk di atas semen yang kasar setelah memohon-mohon selama berpuluh-puluh menit.
Wajah jahatnya mengulas senyuman menjijikkan. Sorot kecil dari lampu gantung itu pun menyoroti wajahnya, hingga terlihat jelas. Namun, sedetik kemudian tahu-tahu Jeongyeon sudah terduduk di atas kasurnya dalam keadaan bercucuran keringat. Lagi-lagi semua yang terlihat di hadapannya begitu suram, pukul tujuh pagi bahkan masih terasa seperti dini hari meski gorden telah tersingkap.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kalopsia: Lonely Sailing
Manusia SerigalaAkibat dari masa lalu yang kelam, Gu Jeongyeon mendedikasikan seluruh hidupnya untuk membalas dendam. Ia berpikir, segala duka yang hadir di jalannya adalah kesalahan dari seseorang dan memang sudah seharusnya ada yang bertanggung jawab. Pada upaya...