1.1 | Tahun kedelapan bagi siapa?

336 112 21
                                    

WARNING⚠️
Chapter ini memuat pembahasan
tentang depresi. Dan bagian ini
mungkin sedikit berat
untuk diserap beberapa orang.
Kalau kamu merasa agak sesak
bagian deskripsi Jeong, cukup sekilas
saja bacanya. Tapi kalau memang
kamu tidak apa-apa, syukur, kamu
bisa baca seperti apa pun yang kamu
mau. Bisa dibayangkan, khayalkan, atau
bagaimana pun.

Kenapa aku tulis pesan ini?
Because this is important!
Setiap orang yang (pernah) punya
masalah mental pasti merasa hal
seperti ini sangat besar. Tidak apa-apa,
kamu bisa baca cepat tanpa perlu
menghayati, atau skip ke bagian kedua.

 Tidak apa-apa,kamu bisa baca cepat tanpa perlumenghayati, atau skip ke bagian kedua

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

-Happy reading-

Rupanya ada fakta besar yang masih tersembunyi. Bagaimana mungkin hal tersebut lepas begitu saja dari pengetahuannya? Ia merasa begitu kacau begitu tersadar satu hal besar yang menyangkut keluarga. Namun, agaknya hanya dirinya sendiri yang tidak tahu perihal itu semua. Hanya ia sendiri, seperti orang bodoh yang tidak tahu menahu apa pun. Dan sekarang, begitu fakta tersebut terbuka tanpa sengaja, apa yang akan terjadi setelahnya mungkin jauh lebih buruk dari apa yang terjadi sebelum-sebelumnya.

Sekarang yang Jeongyeon butuhkan hanyalah kejelasan atas praduga yang terus-menerus bersarang dalam kepalanya. Ia terlanjur kalut, bahkan Jimin pun kesulitan mengembalikan Jeongyeon agar tenang.

Jimin hanya terus memeluk perempuan tersebut semalaman. Namun, hal yang tidak disangka pun terjadi. Ini persis seperti apa yang perempuan itu rasakan delapan tahun yang lalu. Ia tidak dapat bergerak, badannya mendadak kaku, dan tatapannya lurus ke atas pada langit-langit. "Jeong? Jeong?!" Sampai akhirnya pun Jimin yang semakin merasakan takut.

Pada titik ini, ketika Jeongyeon tidak dapat mendengar suara-suara di sekitarnya kecuali dengung nyaring yang memenuhi kepala. Dalam sekejap semuanya menggelap, Jimin pun menghilang. Ketakutan setengah mati, ia memaksakan diri untuk bangkit dari ranjang meski tertatih-tatih.

Sekarang tidak ada yang dapat menyelamatkannya, bahkan Jimin yang dulunya selalu muncul di waktu seperti ini. Ketika dengung itu mencoba menelannya, ia mencoba kabur, tetapi tidak ada siapa pun yang dapat menyelamatkannya. Dan andaipun ia sekarat dan mati setelah ini, mungkin tidak akan ada yang tahu kecuali pagi tiba dan hari-hari berlalu, sampai akhirnya ada yang memeriksa apartemennya.

Setelah jatuh dari kasur, ia bangkit lagi dengan terhuyung-huyung dan terus mencoba lari keluar dari kamar. Sayangnya, seluruh ruangan yang menggelap itu bak mengurungnya di dalam perangkap tanpa pintu dan kedap suara. Dengan tangan yang berusaha menutupi telinga yang terus berdengung, Jeongyeon masih mencoba lari meski kakinya terasa berat dan semakin berat sampai sulit terangkat. Hal terakhir yang ia rasakan adalah ketika karpet merah maroon berpadu coklat itu menelan tubuhnya bagaikan pasir hisap. Ia berteriak kencang, tetapi rasanya teriakan itu masih kalah oleh dengung dahsyat yang tidak kunjung berhenti.

Kalopsia: Lonely Sailing Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang