Jangan lupa vote, spam komen dan follow biar aku cepet updatenya ehehe.
|Mulmed: Sebuah Rasa by Agnes Mo|
|Dipublikasikan pada, 05 Agustus 2024|
|Oleh ©janeruby37|
Ketakutan terbesarnya selama ini telah terjadi. Monster-monster dalam mimpi buruk itu akhirnya keluar menjadi kenyataan. Ia telah luluh lantak, sebab semua usahanya tidak ada yang berhasil. Kini semuanya sudah terlanjur terjadi, dan yang ia tahu, ini barangkali balasan atas dosa-dosa belakangan. Namun, mengapa harus ia dan adiknya?
Mengapa harus kami yang menanggung dosa orang lain?
Sosok getir itu akhirnya memutuskan untuk berjalan perlahan menuju daksa lain yang tengah meratakan tubuh dengan tanah. Di sana, ia mengakhiri sandiwaranya. Topengnya ia lepaskan, dusta itu pun ia hancurkan. Dan ia putuskan untuk membawa pulang sosok sang adik yang telah terlanjur pecah di luar genggamannya.
Seokjin hanya berharap Jeongyeon bisa lebih tenang jika ia bawa ke apartemennya, sementara Tifone dibiarkan saja diurus Haejoon dan Lim untuk sementara waktu. Tidak dapat dipungkiri bahwa di sepanjang jalan menuju rumah, Seokjin masih tidak bisa tenang. Digenggamnya tangan sang adik yang dingin, beranggapan bahwa ia dapat menyalurkan energi di tubuhnya untuk sang adik yang kini menatap kosong ke arah depan, sementara daksanya tersandar lemas pada punggung kursi taksi.
Pakaian kotornya turut mengotori kursi mobil, tetapi untungnya sopir taksi paruh baya itu cukup pengertian untuk tidak menolak mereka di malam-malam seperti ini.
Begitu sampai di loby apartemen, Seokjin meminta Jeongyeon pergi ke kamar terlebih dahulu, sementara ia menghubungi Haejoon. Dan ya, kaki berdarah itu akhirnya masih harus berjalan lagi, menapaki keramik halus yang dingin.
"Tolong jangan ada yang tahu, Yah. Aku minta bantuan untuk mengurus pameran sementara," ucap Seokjin merasa bersalah.
Di seberang sana, Haejoon menghela napas panjang. "Jangan merasa bersalah seperti itu. Aku akan mengurus semuanya. Berikan waktu untuk Jeongie."
Tanpa percakapan panjang, Seokjin menutup ponsel dan masuk ke gedung. Di sepanjang lantai itu, Seokjin menyadari jejak kaki kotor bekas adiknya. Secepat mungkin ia berjalan menuju pintu miliknya dan masuk ke sana. Darah di telapak kaki Jeongyeon juga mengotori karpet mahal kesayangannya, dan tampaknya sosok itu sekarang bersembunyi di sebalik papan pintu kamar tamu, pintu itu terkunci.
Seokjin mengendap-endap, menempelkan telinganya pada daun pintu, lantas mengetuk perlahan. "Jeong," panggilnya lembut. Namun, tidak ada sahutan, yang ada justru suara isakan tangis di sebalik pintu itu.
Dengan lemas, Seokjin duduk di sana, bersandar pada daun pintu yang sama, saling membelakangi dengan sang adik. Ia dapat mendengar isakan di balik pintu itu, dan ia hancur sekali mendengarnya. Tidak dapat menahannya lagi, Seokjin turut meneteskan air mata, tetapi ia malah membekap mulutnya sendiri, barangkali terlampau malu untuk mengakui bahwa dirinya sendiri selemah itu.
"Kukira aku berhasil menyelamatkanmu." Suara Seokjin mengudara seraya kepalanya mendongak ke atas, menatap plafon putih polos di sana dengan mengedipkan mata berkali-kali, ia mencoba agar air matanya tidak tumpah lebih banyak lagi.
"Sembilan tahun yang lalu, aku menjalin hubungan dengan perempuan skizofrenia. Namun, itu kata orang-orang, aku tahu dia tidak mengalaminya. Ada banyak sekali keanehan yang terjadi padanya, aku pun terus bertanya-tanya cukup lama." Di akhir kalimat, Seokjin terkekeh lirih beriringan dengan suara tarikan ingusnya yang mulai mencair akibat tangis. Sementara Jeongyeon sendiri, ia mendengar kakaknya mulai bicara, dan hatinya merasa bergetar begitu sadar bahwa kakaknya menangis.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kalopsia: Lonely Sailing
LobisomemAkibat dari masa lalu yang kelam, Gu Jeongyeon mendedikasikan seluruh hidupnya untuk membalas dendam. Ia berpikir, segala duka yang hadir di jalannya adalah kesalahan dari seseorang dan memang sudah seharusnya ada yang bertanggung jawab. Pada upaya...