0.9 | Duka di wajahnya

381 117 16
                                    

Dalam persepsinya, semua yang terjadi kini adalah hal yang abu-abu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Dalam persepsinya, semua yang terjadi kini adalah hal yang abu-abu. Bertahun-tahun, semua yang sudah terlanjur hancur tidak akan bisa membaik lagi dengan mudah. Bermula dari keheningan yang berdengung di telinga, sampai hidup dalam halusinasi. Awalnya hidup bersama pikiran buntu adalah hal berat, itu seperti aib. Namun, lama kelamaan ada perasaan lain yang terdengar aneh, yang orang anggap sebagai khayalan. Sialnya, Jeongyeon justru lebih bahagia dengan ketidaknormalan dirinya.

Pada hari-hari pertama sejak kegelapan menyerang kepalanya, ia merasakan takut yang luar biasa. Dunia tiba-tiba terasa seperti neraka. Ancaman ada di mana-mana, dan ketakutan tak berdasar terus-menerus menekan dirinya tanpa ampun. Tetapi seiring berjalannya waktu, kegelapan itu tidaklah semenakutkan itu. Jeongyeon menemukan cara lain untuk tetap berjalan di kegelapan mesti tanpa melihat, ia bisa meraba dinding dan lantai meski harus terus-menerus terjatuh.

Kini──di dalam kamar yang dingin──ia merasa hanyut dalam gelenyar ombak ketenangan. Meski di luar sana badai sedang mengamuk dengan petir yang sesekali menyambar bersama kilatan putihnya.

Baru beberapa menit yang lalu listrik dibuat mati oleh petir sialan yang terus-menerus menyambar. Seluruh listrik di gedung apartemen mati total, atau mungkin seluruh kota juga begitu.

Kilat memancar dalam sekejap, cahayanya berhasil lolos di sebalik gordeng yang tersingkap. Jeongyeon tidak takut sama sekali, sebab ia pernah melewati hal yang jauh lebih buruk dari ini.

"Kenapa kau datang padaku?" tanya Jeongyeon.

Sosok yang memeluk daksanya dengan erat kini tersenyum kecil. "Karena kau tampak kesepian. Aku bisa merasakannya karena aku juga kesepian," sahutnya dengan suara rendah. Tangan Jimin membelai dengan halus, sementara jemarinya menyisir tiap helai rambut.

Jeongyeon lupa kapan ia pernah mendapatkan perlakuan selembut ini. Entah karena sudah sangat lama, atau mungkin juga memang tidak pernah sekali pun. Dalam sorot matanya yang mulai meredup kini, Jimin tampak bergerak perlahan hingga menciptakan sebuah guncangan kecil. Ia tidak melepaskan pelukan, hanya saja memberikan sedikit celah dengan menggeser badan sedikit ke belakang.

Kemudian setelah mendapatkan posisi yang nyaman, Jimin menarik Jeongyeon lagi untuk mendekat padanya. Badannya yang hangat berhasil menenggelamkan perempuan tersebut. Ia biarkan Jeongyeon berlindung di balik dadanya untuk mencari kehangatan, sementara dirinya meletakkan dagu pada puncak kepala Jeongyeon.

Kini Jeongyeon bisa merasakan aroma Jimin dengan sangat jelas, bisa mendengarkan detak jantungnya, dan begitu juga suara dan aroma napasnya. Napasnya itu seperti ... aroma yang khas, tetapi tidak sama lagi seperti pada saat wujudnya berupa makhluk besar yang menakutkan. Alih-alih beraroma seperti rempah-rempah dan rerumputan basah, yang kini tercium lebih seperti perpaduan antara buah peach dan daun mint yang segar.

Kalopsia: Lonely Sailing Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang