[1] Mereka dan masalahnya.

7.1K 781 140
                                    

"Oke, jadi kita berenam kan pergi ke sini karena sama-sama menghindar dari masalah ... so, hari ini gue mau kita semua bisa jujur soal masalah kita masing-masing," ucap Bella. "Biar setelah pulang dari sini, pikiran kita gak kembali butek karena harus menghadapi masalah yang sama lagi tanpa nemuin jawabannya. Siapa tau kita bisa saling kasih solusi dan nemuin keputusan terbaik?"

Darin yang tengah mengunyah makanannya, mengangguk setuju. Yang lain pun bilang gak masalah.

"Siapa yang mau buat pengakuan lebih dulu?" tanya Febi sambil menuang air dalam gelas. "Gue gak mau jadi yang pertama."

Yuna mengangkat tangan lebih dulu setelah mengelap sudut-sudut bibir menggunakan tisu. "Gue deh!"

"Jadi kenapa lo mutusin kabur ke sini?" Bella dan yang lain kini menjadikan Yuna pusat perhatian.

"Gue sakit hati banget sama Tian! Dia sama gue berantem gara-gara masalah sepele, tapi dia malah ungkit-ungkit soal mantannya yang sikapnya gak kaya gue. Dia minta maaf sih setelah itu, khilaf katanya, tapi jujur gue masih belum bisa terima," jelas Yuna yang kini membenarkan letak duduknya. "Gue bilang ke dia, untuk sementara ini jangan ganggu gue dulu sampe gue yang hubungin dia duluan."

"Terus reaksi dia gimana?" Nadine yang mengecat rambutnya jadi pirang, penasaran.

"Dia terus chat dan telpon gue, tapi gak gue respons. Biarin, nanti juga capek sendiri." Yuna mengedikkan bahu, nada bicaranya masih menunjukkan kalau dia kesal.

"Kamu gak takut bakalan putus dari Tian?" respons Cia, yang paling muda di antara mereka.

"Gak tau, yang jelas sekarang gue ngerasa keputusan menghindar dari dia untuk sementara waktu adalah benar. Kalau dia emang cinta gue, dia harusnya bisa ngerti dan instropeksi diri."

"Bener juga lo." Darin yang memiliki pipi tembam ini menyetujui ucapan temannya. "Gue juga kesel banget sama suami gue. Sering berantem sama dia gara-gara mertua yang super-duper-rese parah. Terlalu ikut campur dalam rumah tangga. Gue udah bilang berkali-kali gue mau pindah karena gak nyaman. Terserah deh mau ngontrak atau gimana, asal gak di rumah mertua. Eh tapi dianya masih gak mau, kasian mertua gue yang hidup sendiri katanya. Kemaren gue tegasin lagi ke dia di depan mamanya, malah pake berujung sok drama bilang gue ini istri durhaka karena mau jauhin anak dari ibunya. Duh, gak tahu sampe kapan gue harus ngadepin mertua toxic."

"Lo liburan gini gak dinyinyirin mertua lo, kan?" ujar Nadine.

"Gue bilang sama suami dan mertua gue ada urusan kerja ke luar kota. Asli udah muak banget ada di rumah itu." Semua uneg-uneg Darin yang tertahan akhirnya bisa keluar. "Kalo mereka tahu sebenernya duh rempong, Ceu. Bisa-bisa tetangga dari ujung ke ujung tahu kalo menantunya ini gak ada akhlak pergi liburan gak bantu mertua beresin pekerjaan rumah yang gak kelar-kelar."

Kelima temannya terbahak mendengar ucapan Darin. Sebenernya miris, tapi gimana lagi? Pembawaan Darin yang cerita kaya lagi ngelawak buat mereka gak bisa menahan tawa. Darin emang gak pernah berubah.

"Aku mutusin buat menghindar saat Ghani bilang dia mau ke Jakarta buat beberapa hari. Semenjak LDR rasanya kaya beda aja. Kita jadi jarang kontakan karena sama-sama sibuk. Terus jadi sering salah paham. Jujur aku capek banget sama Ghani yang sekarang. Hubungan pun rasanya hambar." Kali ini, Cia yang buka suara. "Sempat kepikiran buat selingkuh sama temen kantor yang selalu ada buat aku, tapi aku masih belum berani."

"Kenapa lo punya niat begitu? Lo sama Ghani udah pacaran lama dan tunangan juga. Kok lo tega?" tanya Febi yang kini menautkan alis.

"Ya karena Mas Dean itu bikin aku nyaman. Dia selalu ada di saat aku butuh, banyak hal yang gak aku dapetin dari Ghani ada di diri Dean."

Let's Face It!✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang