"LAURAAAA!!!"
Kintan dan Veronika serempak terbangun. Kemudian mereka duduk. Mereka saling melempar pandangan. Veronika mengulum senyum. Baginya ini sudah biasa. Tapi tidak dengan Kintan. Matanya merah seperti usai menangis.
"Kamu berhasil Kintan. Kamu membawanya pergi. Aku bangga padamu." Veronika memeluk Kintan. Kintan menangis lebih deras. Baginya ini memilukan.
Reyana dan Adley terheran. Mereka hanya bungkam melihat Kintan dan Veronika berpelukan. Kedamaian datang kembali. Seolah angin malam berhembus menyambut awal yang baru. Kepergian Laura memberi banyak pelajaran. Hidup ini tidak boleh disia-siakan.
"Kenapa aku iri dibuatnya?" ujar Reyana.
"Kamu mau aku peluk?" tawar Adley tersenyum jahil.
"TIDAAAKK!!!" Tolak Reyana cepat.
Beberapa saat kemudian Kintan dan Veronika melepas pelukan. Ditemarang cahaya Kintan berusaha menatap wajah Reyana, Adley, dan Veronika. Dia tidak bisa berkata lagi. Apa yang Laura alami seolah Kintan yang mengalaminya.
"Apa yang terjadi? Kenapa Kintan menangis?" Tanya Reyana.
"Tidak usah cemas. Dia akan bercerita pada waktunya." Veronika menyela.
Adley lalu kembali menghidupkan lampu. Lilin sudah padam meleleh. Begitupun benang merah yang diputuskan. Pertanda bahwa pemanggilan arwah telah berakhir.
"Eh! Eh! Coba lihat diary itu!" teriak Reyana.
Semuanya mendekat. Menyaksikan diary yang perlahan menjadi abu. Laura sudah benar-benar pergi. Diary nya pun menghilang. Tidak satupun tersisa. Kecuali kenangan memilukan.
***
"Akankah ketika subuh kita sampai di Granada?" ujar Reyana menatap langit malam."Tidak usah cemas. Aku akan berusaha cepat. Lagian salju sudah mulai reda." Balas Adley.
Jam sudah menunjukkan pukul 01.00. Larut malam mereka pulang. Mereka terpaksa kembali ke rumah masing-masing. Karena belum mendapat izin menginap. Di belakang Reyana dan Adley, Kintan sedang termenung. Satupun tidak terbesit dipkirannya. Selain Laura.
"Kamu sudah mengantuk Kintan? Maaf kita pulang terlalu larut," Ujar Adley yang terus fokus mengemudi.
"Tidak masalah," ujar Kintan singkat.
"Omong-omong kenapa kamu bisa segitunya menangis? Emang ada apa?" tanya Adley.
Reyana langsung membelakkan mata padanya. Bagaimana tidak. Adley bertanya tidak pada waktunya. Kintan masih bersedih. Sulit untuknya membahas itu sekarang.
"Kamu ini bagaimana sih?! Jangan membuatnya tambah sedih! Dasar!" bisik Reyana pada Adley.
"Aku baik-baik saja," ujar Kintan. Lagi-lagi Reyana lupa bahwa Kintan indigo. Tidak perlu pakai bisik-bisik segala. Kintan sudah mengetahui isi hatinya.
"Maaf Kintan," ujar Adley.
Jemari lentik Kintan bermain dikaca mobil Adley. Rintik salju menghinggap disana. Wajah Laura terbayang olehnya. Entah kenapa kepergian Laura membuat Kintan sepi. Seolah ada yang menjanggal dihatinya.
"Aku akan bercerita. Laura meninggal bukan karena menggantung diri. Tapi ditusuk pisau. Bekas tusukan didadanya yang kalian curigai benar. Laura memberi gambaran padaku didetik-detik sebelum dia pergi. Malang sekali. Bahkan dia mengatakan menyesal akan perbuatannya."
"Terus kenapa kamu bisa sampai menangis?" Adley penasaran.
"Aku hanya terbawa suasana. Nasib kami sama. Orang tua kami sibuk dengan urusannya masing-masing. Kami dilantarkan begitu saja. Sayangnya Laura tidak bisa mengatasinya. Akhirnya dia memutuskan mengakhiri hidupnya. Sekarang aku tau. Betapa berartinya kehidupan."
"Tetaplah tersenyum Kintan. Masih ada kami untukmu." Laura menoleh ke Kintan.
"Aku sangat berterimakasih kepada kalian. Reyana menjadikanku percaya diri akan indigoku. Dan Adley mengajarkanku betapa berharganya pertemanan. Jika kalian tidak ada. Mungkin aku akan melakukan hal yang sama dengan Laura."
"HEII!!! Jangan sampai yah! Aku tidak ingin kehilangan teman lagi," tukas Reyana.
"Hahah. Tidak, tidak. Aku tidak mungkin melakukannya." Kintan tertawa. Kali ini Kintan menunjukkan hal yang baru darinya. Dia tidak lagi menyembunyikan wajahnya.
"Kamu juga sama denganku Kintan. Anak-anak sekolah tidak percaya hantu. Aku dikucilkan lalu dihina mati-matian. Aku menyesal sudah bercerita tentang hantu pada mereka."
"Hm! Hm! Sepertinya aku sudah tidak dianggap." Adley berdehem.
"Kamu memang tak dianggap! Selalu membuatku kesal saja." Reyana melipat tangan didada.
"Idih! Kalau begitu kamu kuturunkan ditepi jalan saja. Biar dicuri Nenek Lampir."
Reyana membelalak mata mendengarnya. "Apa kamu bilang?! Dasar pengacau suasana!!!" Reyana memukul lengan Adley.
"Ampun nek! Ampun Nenek Lampir! Tolong!"
Kehebohan diantara Reyana, dan Adley memecahkan langit malam. Kintan berhasil tertawa karena ulah mereka. Saking asiknya tidak ada yang menyadari. Reyana, Adley, dan Kintan sudah lupa. Dua arwah siswa masih bergentayangan. Dan kini ikut di jok paling belakang mobil.
●●●
By: Giovanni Sally Endra
Ig: @giovanni2745_
KAMU SEDANG MEMBACA
Scary Alone [ENDING]
Horreur[CHAPTER LENGKAP] Tiga remaja yang nekat pun menjalankan misi mereka. Reyana. Adley. Kintan. Masing-masing diantaranya punya kelebihan. Tujuan mereka kini menguak beribu kemunafikan pihak sekolah mereka. Pasalnya dengan kematian seorang teman merek...