10° Tidak boleh menaruh harapan pada siapapun

1K 264 54
                                    

Jessie sudah merasakan pahit dalam hidupnya selama bertahun-tahun, hanya saja ia masih belum juga terbiasa. Karena rasa sakitnya masih sama , berefek cukup parah pada jiwanya yang perlahan semakin rapuh.

Ia berjongkok, mencari kalung yang sudah menjadi sampah bagi Jeffrey dengan isakannya yang tertahan.

Tangannya masuk kedalam semak-semak, dan tak lama kemudian menemukan benda itu. Netranya pun menatap lamat, dan ucapan lelaki itu kembali terlintas di memorinya.

Tidak ingin mengenalnya lagi, katanya?

Jessie ingin tertawa sekaligus menangis keras. Karena ternyata benar, ia tidak boleh menaruh harapan pada siapapun dan melibatkan satu orangpun dalam hidupnya.

Ia hanya punya dirinya sendiri untuk menguatkan.

Hingga sebuah tangan terulur, membersihkan punggung tangannya yang cukup kotor karena tanah bekas ia mengambil kalung tersebut di semak-semak.

"Maaf Jes," Ujarnya.

Gadis itu reflek menarik tangannya lalu berdiri, dengan wajah terkejutnya.

"Ahㅡ? Minggu? Kenapa disini?"

Minggu ikut berdiri dan kemudian berkata, "biar gua yang jelasin ke dia, Jes."

Lelaki itu langsung to the point , mengabaikan pertanyaan Jessie sebelumnya.

"Soal apa?"

"Foto itu.."

Jessie meremat tangannya kemudian memasukkan kalung yang sejak tadi ia genggam kedalam saku roknya.

Ia tersenyum tipis, "it's ok , lagipula ... semuanya udah berakhir."

Minggu pun memasang wajah heran, berakhir apanya? Ia tidak mengerti.

"Aku tinggal ya, kamu jangan lupa obatin lukanya." Ucap Jessie, sebelum pergi meninggalkan Minggu yang wajahnya masih bonyok.

"SUNDAY! Main kabur aja lu bangkee!" Teriak Juki dari ujung koridor, ia pun berlari ke arah Minggu dengan tergopoh-gopoh.

"Sunday siapa anjrit.." lirih Minggu, tidak sadar bahwa itu panggilan untuknya.

***

Jessie masuk kedalam kelasnya, merapihkan buku-buku yang ada di laci mejanya kedalam tas.

Anak-anak kelas sebenarnya tidak mau peduli, hanya saja mereka tetap penasaran dengan apa yang terjadi pada gadis itu dan kekasihnya.

Hingga kemudian Airaㅡyang baru saja kembali dari Korea untuk bedah plastik pada bagian rahangnyaㅡ menghampiri Jessie dan tersenyum.

"Long time no see, Mavheen."

Jessie mendongak, memperhatikan wajah Aira lalu membalas senyum gadis itu, "Kamu tambah cantik, Ra."

Gadis itu terkekeh, "Jelas, uang ratusan juta enggak bakal khianati hasilnya."

"Ah, gitu.."

Mungkin bagi Aira itu adalah nominal yang fantastis, tapi bagi Jessie jelas bukan. Akan tetapi ia tidak pernah mau menyepelekan suatu hal yang menurut orang lain luar biasa dan sangat berharga, ia tidak cukup jahat untuk melakukannya. Sekalipun orang yang ada dihadapannya adalah salah satu pembencinya.

"Lo mau kemana?" Tanyanya, sok akrab.

Jessie menyalakan smart watch-nya lalu menunjukkan pada Aira, dan saat melihatnyaㅡAira cukup terkejut sebab layarnya menampilkan pengingat : 'Rapat pemegang saham , loc : Dubai, Burj Khalifa.'

amerta :: jaesoo✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang