:: bonus chapter ::

1.2K 212 51
                                    

Semakin Jevan bertambahnya umur, Jeffrey juga harus semakin banyak-banyak bersabar. Anak lelakinya yang tidak sedarah itu sangat mirip dengannya saat remaja dulu, yaitu keras kepala dan semaunya. Kalau begini caranya, Jeffrey rasa ia terkena karma atas kelakuannya yang satu itu.

Seperti saat ini contohnya, Jeffrey yang sedang menjelaskan perihal bisnis miliknya itu pada akhirnya hanya mampu memijit pelipisnya lelah karena yang dilakukan sang pengamatㅡJevanㅡhanyalah membalik-balikkan isian map yang ia beri tanpa minat sedikitpun, lalu disaat kupluk hoodie yang ia pakai terbuka ... anak itu ternyata menyumpal kedua telinganya dengan airpods.

Sungguh, beginikah rasanya punya anak yang seenaknya?! Jeffrey seketika ingin membuat permohonan ampunan kepada orangtuanya.

"Jevan, dengerin dad dulu oke. Minggu depan kamu harus ngehadirin pertemuan itu, sedikit banyaknya kamu harus tau tentang bisnis. Please, jagoan?"

Jevan melepaskan airpods-nya lalu memasang wajah melasnya, "no daaad, aku gamau ikut."

"Disana ada Javier dan Haikal. Kamu enggak sepenuhnya sama dad kok, cuma setengah jam aja buat dad kenalin ke orang-orang."

"Javier udah bilang ke Jevan dad, katanya disana banyak orang kaya yang nyebelin."

"Kalau dad mati dalam keadaan kamu enggak ngerti apapun, gimana? Apa kamu mau jadi orang susah yang makannya sebulan sekali?" Tanya Jeffrey, hiperbola. Karena bagaimana mungkin seorang keturunan Adhitama ada di dalam posisi seperti itu? Rasanya mustahil.

"Kan ada Javier, aku minta makan ke dia aja." Jawab Jevan yang tidak berpikir panjang, yang terpenting saat ini adalah ia jangan sampai ikut ke acara itu.

"Javier, Javier, dan Javier. Kamu mau hidup tergantung sama dia aja?"

"Ya enggak, kan ada kakek nenek juga.."

"Elkhair!"

Nada bicara Jeffrey naik satu oktaf, ia kesal pada Jevan yang selalu membantah ucapannya. Selama ini ia selalu memanjakan anak itu, sampai akhirnya ia tumbuh jadi anak yang seperti sekarang.

Jevan tersentak kecil lalu menggigit bibir dalamnya sembari menatap takut ke arah sang Daddy.

"Sebentar aja ya? Habis itu dad bebasin kamu main malem lagi, janji." Jeffrey menyodorkan kelingkingnya ke hadapan sang anak, cara lamanya itu selalu ia pakai ketika sudah menyerah dengan keras kepalanya Jevan.

Tapi Jevan malah menggelengkan kepalanya, "Jevan enggak mau itu."

"Lalu?"

Jevan lantas menautkan kelingkingnya dengan milik sang Daddy, "Jevan mau dad datang waktu pensi nanti, janji?"

Ucapan Jevan itu membuat Jeffrey meragu. Ia akhir-akhir ini super duper sibuk, untuk menjanjikan kehadirannya pada hari penting seperti itu rasanya sangat beresiko mengingkarinya.

"Dadㅡ

"Iya atau enggak sama sekali?"

Dan kelemahan Jeffrey selain ada pada Jessie adalah pada Jevan, anak lelakinya itu boleh saja keras kepalaㅡnamun sesungguhnya ia adalah anak yang sangat membutuhkan perhatian, terlebih selama ini ia hanya hidup bersama dengan orang tua tunggal tanpa kehadiran sosok ibu di sampingnya.

"Oke, dad janji. Tapi untuk jaga-jaga, gimana kalau kita liburan ke Melbourne waktu kamu udah lewatin masa ujian nanti?"

"Oke, call!" Seru Jevan, menyetujui ucapan Jeffrey.

Kelingking mereka pun terlepas, dan Jeffrey mengusak surai lembut putranya yang kini sudah beranjak remaja ... yaitu berumur 16 tahun.

"Yaudah, sekarang perhatiin penjelasan dad ya?"

amerta :: jaesoo✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang