11° Akhir tahun itu tak lagi seirama

1K 253 74
                                    

Ayah berkata bahwa hidup adalah sebuah perjuangan, setiap kepala punya usaha masing-masing untuk menempatkan diri mereka di tempat yang nyaman dan berkecukupan.

Begitupun Ayah. Ia sudah mendapatkan keduanya, dan ingin Jessie mengerti bahwa mempertahankannya akan lebih sulit dibandingkan saat dulu ia meraihnya.

Ia tidak ingin Jessie gagal, ia tidak ingin Jessie dipandang lemah, dan ia tidak ingin Jessie kembali merasakan susah sepertinya saat duluㅡmeskipun rasanya jika melihat kondisi sekarang sangatlah mustahil.

Membiarkan ambisi Jessie tetap hidup adalah pilihan terbaik, hanya saja sebagai orang tua ia juga memiliki celahㅡyaitu mengabaikan kesehatan mental Jessie.

Karena sebenarnya bukan hal baru lagi melihat anak itu menangis seorang diri dan berdebat dengan isi kepalanya, ayah terlampau sering melihatnyaㅡhanya saja ia tidak mau peduli lebih.

Ia takut Jessie berubah menjadi manja dan selalu ingin dimengerti oleh dunia. Menurutnya itu bukan hal yang baik.

Ah, sepertinya gelar tuan Mavheen terlalu melekat padanya hingga perlahan gelar ayah yang ia punya pun terkikis dengan sendirinya. Karena dirinya lebih sering memandang dan mendidik Jessie sebagai seorang tuan Mavheen si pebisnis yang sukses, bukan sebagai seorang ayah.

Kini pun sama, ia mengabaikan tremor serta mata yang tidak fokus milik sang putri ketika hendak memasuki ruangan rapat.

Baginya, itu hanyalah kecemasan biasa yang seringkali dialami orang pada umumnya.

Padahal nyatanya tidak.

Gadis itu terkena serangan panik hingga membuat dirinya tidak lagi bisa bernafas normal. Sungguhㅡmenghadiri acara sebesar itu sebenarnya hal menakutkan yang ingin sekali Jessie tinggalkan.

"A-ayah..." Lirih Jessie, menarik ujung jas Ayahnya yang tengah mengobrol dengan para investor lain.

"Hm?"

"Aku izin ke toilet, sebentar. Boleh?"

Ayah mengangguk, lalu kembali mengobrol. Jessie berjalan menuju toilet dengan perlahan, sebab ia tidak mau terlihat sedang panik dan menggila.

Ia masuk kedalam salah satu bilik dan ambruk begitu saja dengan nafas yang terengah-engah dan dada yang berdenyut sakit.

Sungguh, ia membenci dirinya yang akhir-akhir ini lebih sering terkena serangan panik seperti itu dan sulit sekali mengontrol dirinya sendiri.

"It's ok, Jessie ... kamu gapapa.." ujarnya pelan, sebelum meminum pil penenang yang selalu ia bawa di saku.

Matanya pun terpejam, dan memberi kata-kata penyemangat untuk dirinya. Ia harus kuat, setidaknya sampai acara rapat tahunan ini selesai.

Beberapa menit kemudian ia keluar dari dalam bilik dan kembali merapihkan penampilannya yang terlihat sedikit kacau di cermin hadapannya.

Dan bilik di samping Jessie terbuka, menampilkan sosok cantik yang ia kenal.

"Oh, Jessie?" Panggilnya, dan mata mereka bertemu melalu cermin.

Jessie tersenyum dan membalikkan badannya, "Hai, Bona!"

Ia terkekeh lalu menghampiri Jessie dengan terburu-buru lalu membawanya kedalam pelukan, "kangenn!"

Aroma vanilla milik Bona menyeruak ke Indra penciuman Jessie, hingga membuat ia terpejam dan membalas pelukan gadis yang sebaya dengannya itu.

"Aku juga..."

Bona melepaskan pelukannya, "gimana Indonesia? Masih indah karena ada Jef?" tanyanya, sambil menggerling jahil.

amerta :: jaesoo✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang