2 - Obrolan Meja Makan

436 106 23
                                    

Biasanya, Gendari baru mau keluar rumah saat matahari sudah berada tepat di atas kepala. Namun, khusus di hari Senin ini, saat jam baru menunjukkan pukul 05.47, dia sudah mandi dan berpakaian rapi. Dengan menggunakan kaos putih polos sebagai atasan yang kemudian dia padukan dengan blazer hitam, celana jin dan low top sneakers berwarna putih, Gendari pun merasa begitu siap menjalani harinya.

Seusainya menata rambut ikal tipe 3A (keriting dan bergelombang) serta menyapukan riasan natural di wajah manisnya, Gendari lantas bergegas menuju ruang makan. "Selamat pagi, Ayah, Bunda, Mas Arya dan Mas Kavin!" sapanya dengan penuh semangat lalu mencium satu per satu pipi dari setiap anggota keluarganya.

"Kalau Mas Arya sudah menikah sama Mbak Dinda, Adek masih bisa cium gini, nggak, ya?" tanya Gendari setelah dia mencium pipi berlesung milik sang kakak sulung.

"Coba nanti kamu tanyakan langsung sama dia, ya, Dek," jawab Arya dengan kalemnya.

Seraya mengangguk-anggukkan kepala, Gendari pun beralih pada Kavin. "Dek, lipstik kamu nggak bakal ngebekas di pipi Mas, kan?" tanya pria yang kini sudah berusia kepala tiga itu.

"Hahaha... Nggak kok, Mas," jawab Gendari lalu tertawa karena teringat dengan kejadian yang sebenarnya sudah sangat lama sekali itu.

Saat Gendari sudah duduk di sampingnya dan terlihat mulai menuangkan jus jambu ke dalam gelasnya, Kavin mempertanyakan alasan dari ketidak biasaan sang adiknya itu.

"Adek mau ke salah satu kampus di Bogor."

"Tumben banget, ada acara meet and greet di hari kerja begini." Meskipun sedang meneguk minuman favoritnya, Gendari tetap menanggapi ucapan itu dengan gelengan kepala.

Tepat di saat sang adik sudah meletakkan gelasnya, "Terus kamu mau ngapain ke sana? Mau daf--"

"Adek mau baku hantam!" Kresno Praptodjati yang merupakan kepala keluarga di rumah ini pun tersedak teh manis yang sedang diminumnya.

"Adek! Kamu tuh kalau ngomong, mbok ya, jangan yang buat kaget Ayahmu gini dong," tegur Sri Banuwati seraya mengusap-usap dada suami tercintanya itu.

Setelah Gendari meminta maaf dan memastikan bahwa ayahnya baik-baik saja, "Jawaban Adek bener loh, Bun," ngototnya.

"Sekarang Mas tanya, alasan kamu mau baku hantam di kampus itu tuh, apa?"

Sri yang sudah tahu soal ini pun angkat suara. Mewakilkan sang putri sulung sekaligus mencegah adanya kerusuhan di pagi hari ini. "Setahu Bunda, Adekmu ke sana karena mau nemuin orang yang bilang kalau novel terbarunya nggak nampak dan nggak lembap gitu, Mas."

"Hah? Maksudnya, Bun?" Sementara Kavin mengerutkan dahinya, Arya dan Kresno terlihat setengah mati menahan tawa. Bagaimana tidak, jika ibu suri di rumah ini tampak begitu menyakinkan setelah dia mengubah kata 'impak nyata' menjadi tidak nampak serta 'kelembamam' menjadi lembap.

"Bukannya nggak nampak dan nggak lembap, Bunda..." Mau tidak mau, Gendari harus kembali menceritakan kisah tersebut pada sang kakak yang baru saja kembali dari luar kota semalam.

"Dengan sangat terpaksa Mas harus mengakui kalau diksi yang digunakannya memang tidak lazim, apalagi untuk makhluk-makhluk rumpun sosial humaniora macem keluarga kita. Tapi selebihnya, kritikan itu biasa saja kok, Dek," komentar Kavin yang langsung diangguk oleh Arya.

"Berarti wajar nggak, kalau hati Adek tergelitik dan mau baku hantam sama si dosen itu?"

Kavin pun menggelengkan kepalanya. "Selama kritik berdiksi ilmiah itu tidak membuat penjualan novel kamu merosot tajam, ya, abaikan saja. Anggap saja dia itu penjual cangcimen yang sedang teriak-teriak di terminal."

"Lah, justru penjual cangcimen itu yang paling dicari Adekmu kalau datang ke terminal, Mas," sahut Sri yang akhirnya membuat tawa Kresno dan Arya pecah.

Mengabaikan keriuhan tawa dari kedua orangtua dan kakak sulungnya, Kavin lantas menanyakan kembali soal apa saja yang akan adiknya itu lakukan pada sang pengkritik. "Eh, Kavin. Kalau pertanyaan kamu nggak ada habisnya begini, kapan sarapannya? Nanti kalian semua telat ngantornya loh," ingat Bunda yang hanya dibalas dengan anggukkan oleh semuanya termasuk suaminya yang sejak awal memang mendukung aksi Gendari.

"Pertama-tama, Adek akan tanya dulu arti dari ucapannya. Lalu yang kedua, Adek akan tanya lagi soal alasan dia mengatakan itu dan yang terakhir, kalau memang alasannya masuk akal, Adek bersedia kok, menulis versi terbaru dari novel itu, asalkan dia mau bimbing Adek."

"Kalau kamu nulis berdasarkan bimbingan dosen, novel kamu jadi jurnal ilmiah loh, Dek," ingat Kavin yang justru membuat Gendari tersenyum lebar.

"Justru itu yang mau Adek perlihatkan pada si tukang kritik ini. Novel berbobot atas bimbingan dia atau novel terbaru Adek itu yang laris manis di pasaran."

Sebelum kedua anaknya itu kembali berkata-kata, Sri sudah mendahuluinya dengan sebuah ultimatum. "Kita mulai sarapannya sekarang, atau Bunda mogok masak selama sepekan."

"Ayo, Anak-anak. Kita mulai santap masakannya Bunda. Sekarang," tanggap Kresno yang tentu saja membuat ketiga anaknya menggelengkan kepala tapi dengan bibir yang melengkungkan senyum.

Tbc...

Selamat berkenalan dengan keluarganya Gendari😘💞
Semoga suka dan bersedia menemaniku sampai cerita ini selesai🙏👌
.
.
.
Kak Rurs with💎

Labirin Kala & Rasa ✔️ (Sudah Terbit) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang