Sesampainya di lobi utama fakultas MIPA, penulis yang memiliki tinggi 175 cm dengan berat badan 68 kg itu langsung menghubungi Mila, pembaca setia sekaligus pelapor atas kritikan berbahasa ilmiah itu
"Aku sudah di lobi FMIPA nih," ucap Gendari sambil mengedarkan pandanganya.
"Oh, oke, Kak. Aku ke sana sekarang ya." Tanpa sadar, Gendari menganggukkan kepalanya.
"Thanks, ya, Mila." ucapnya lalu memutuskan sambungan telepon.
Selama menunggu datangnya perempuan bernama lengkap Milandika Lestari, pikiran Gendari dibuat melayang-layang ke masa lalu oleh para mahasiswa yang hilir mudik di depannya. Ah, kenapa tiba-tiba gue jadi mellow begini? Gendari bertanya pada hatinya yang mulai merasa sesak. Bukan, bukan sekarang waktunya untuk bernostalgia, Gendari! Dia lantas memejamkan mata seraya memerintahkan otaknya untuk menepis semua kenangan yang sebenarnya telah dia abadikan dalam novel berjudul Febri & April itu.
Saat Gendari tengah sibuk mengontrol pikiran dan perasaannya, secara tiba-tiba datanglah tiga mahasiswi yang semuanya berkaos ketat. "Eh, lo tuh Gendari yang penulis itu, kan?" tanya perempuan yang berdiri tepat di hadapannya.
Melihat kepongahan dan aura yang sangat tidak bersahabat dari sang penanya, Gendari tampak menarik napas panjang sebelum dia mengiakannya dengan anggukkan singkat.
"Lo mau ngapain di sini?" Andai saja sang penulis bertubuh seksi ini memilik pintu ke mana saja, sudah pasti dia akan langsung menyeret Athena ke sini.
"Bisa dikatakan saya se--" Gendari langsung menghentikan ucapannya lantaran lengannya disentuh oleh seseorang.
Begitu dia menoleh, "Ayo, Kak. Kita pergi ke departemen fisika," ajak sang pelaku yang tak lain adalah Mila. Tanpa mengindahkan keberadaan tiga orang tersebut, perempuan berpenampilan sederhana itu lantas menggandeng tangan Gendari.
Baru saja keduanya akan melangkahkan kaki, "Heh,Mila!" Suara dari perempuan yang sejak tadi bertanya pada Gendari pun terdengar dengan sangat kencang.
"Sudah lupa derajat, lo?" tanya mahasiswi yang berada di samping kiri.
"Anak bidik misi saj--"
"Memangnya kenapa kalau Mila kuliah dibayarin sama negara, hah?" Gendari sengaja memotong ucapan mahasiswi tersebut dengan mata yang tampak meruncing tajam.
"Wah, gue baru tahu. Ternyata penulis yang namanya Gen--"
"Kak Sinta," panggil Mila sekaligus memotong ucapannya. "Mila minta maaf untuk ketidak sopanan yang tadi. Maafkan Mila juga ya, Kak Bella dan Kak Dira," lanjutnya yang membuat Gendari langsung melongo tak percaya.
"Mila pamit mengantarkan Kak Gendari dulu ya, Kakak-Kakak," pamitnya dengan wajah yang sepenuhnya dia tundukkan.
Sebenarnya, Gendari masih sangat ingin meladeni ketiga mahasiswi yang menurutnya pasti hanya bermodalkan uang papa itu. Namun, mengingat ada manusia lain yang harus segera dia temui, mau tidak mau, dia pun memendam hasratnya itu dalam-dalam.
"Kita langsung ketemu dosen kamu itu, kan?" tanya Gendari seraya mengikuti ke mana sang pembaca setianya itu berjalan.
"Iya, Kak," jawab Mila masih dengan posisi wajah yang menatap lantai.
Tepat saat mereka berbelok ke arah lorong utama fakultas ini, "Mereka bertiga tuh siapa, sih Mil?" tanya Gendari alih-alih membahas dosen yang memberikan kritik berbahasa ilmiah terhadap novelnya itu.
"Mereka semua mahasiswi fisika tingkat akhir, Kak." Mila kemudian bercerita bahwa ketiganya adalah mahasiswi populer di kampus ini.
"Populer karena?"
"Wajahnya cantik, otaknya pintar dan berasal dari keluarga kaya."
"Masa, sih, makhluk nggak ada akhlak begitu otaknya pinter? Jangan-jangan nilai mereka bagus-bagus karena bayar atau setoran badan sama dosen, dekan dan rektor deh." Gendari dengan semua pemikirannya membuat Mila tertawa.
"Kalau Kak Gendari nggak percaya, Kakak bisa lihat itu," ucap Mila seraya menunjuk sebuah baliho yang terbentang gagah di samping lapangan voli.
Dengan mata yang tampak menyipit, Gendari membaca keras-keras apa yang sedang dilihatnya itu. "Jadi yang namanya Sinta itu mahasiswa berprestasi bidang seni, lalu Dira itu mapres wirausaha dan Bella adalah peraih... MEDALI EMAS OLIMPIADE FISIKA INTERNASIONAL?" Teriakan Gendari nyatanya berhasil mengudang perhatian sekitarnya.
"Itu, kan, Mbak Gendari!"
"Eh, iya, itu Mbak Gendari!"
"Mana, mana?"
"Mbak Gendari siapa sih?"
"Penulis novel, Oneng!"
Dalam hitungan detik, lorong yang mengarah ke departemen fisika sudah tampak dipadati oleh warganya. Tidak hanya para mahasiswa, beberapa dosen yang kebetulan melintas di sana pun ikut mengepungnya.
Salah satunya adalah Bu Dedeh. Dosen senior di Departemen Kimia ini memang sudah lama menasbihkan dirinya sebagai fans garis keras penulis berkulit sawo matang itu. "Mau dijadiin menantu ya, Bu?" tanggap salah satu mahasiswanya saat mendapati Bu Dedeh tengah berteriak-teriak memanggil Gendari sambil terus berjuang menembus kerumunan.
"Ya, iya, dong. Gendari tuh cocok banget sama anak Ibu yang pertama. Si Ujang."
"Kak Gendariiiiii! Dosen saya mau jadiin Kakak menantu nih!" Gendari yang baru saja selesai berfoto dengan dua LeGendarist (sebutan untuk para pembacanya), lantas menoleh ke arah sumber suara.
"Tuh, Bu Dedeh! Kak Gendari sudah noticed."
"Praktikum kimia kuantitatif kamu, Ibu kasih A ya, Dim."
"Wah, terima kasih sekali Ibu Dedeh yang cantik dan baik hati..." Mahasiswa yang bernama Dimas itu, kemudian menawarkan jasa pengambil foto dari dosen dan sosok menantu idamannya itu.
"Setelah foto bareng, jangan lupa minta alamat sama ukuran jari Kak Gendari, Bu," ucapnya sebelum mengarahkan gaya pada kedua perempuan berbeda profesi dan generasi itu.
Usai mengucapkan terima kasih pada mahasiswa kesayangannya itu, Bu Dedeh pun berkata pada Gendari. "Baru semalam Ibu teh berdoa ka Gusti Allah, biar bisa ketemu sama kamu. Eh, pagi ini kamu sudah ada di sini."
"Ya Allah, Ibu. Padahal saya tuh bukan artis loh," tanggap Gendari lengkap dengan senyum lebarnya.
"Kak Gendari, anaknya Bu Dedeh ganteng, loh!" Dimas kembali beraksi. "Blasteran Bandung-Swedia dan kerjaannya nunggangin burung besi, Kak," lanjutnya yang membuat semua orang tertawa terbahak-bahak.
"Eh, si Dimas, yang bener dong ngenalinnya." Bu Dedeh kemudian menceritakan bahwa putra sulung yang bernama kesayangan Ujang itu berprofesi sebagai pilot dan belum menikah sampai detik ini.
"Kapan-kapan Ibu kenalkan kamu ya, sa--"
"Ada ribut-ribut apa ini, Bu Dedeh?" Sebuah suara dalam dan berat terdengar dari arah belakang punggung Gendari.
"Eh, ada Pak Hugo." Tanpa komando, semua orang pun mengarahkan pandangannya ke pria yang berdiri tepat di belakang Gendari. "Begini loh, Pak. Fakultas kita kedatangan Gendari," lanjutnya seraya menyuruh sang penulis untuk berbalik badan.
"Gendari?" Pria tersebut lantas menyapukan pandangannya dari jung rambut hingga ujung kaki sang penulis.
"Iya, Pak. Ini Kak Gendari yang nulis novel Febri & April itu," tanggap Mila dengan cepat..
"Oh, jadi ini, wujud asli dari penulis yang novelnya hampa itu?" Di detik ini juga, emosi Gendari sudah berada di ubun-ubun. Sugguh, dia menyesal telah menolak tawaran Athena. Haaaah... membunuh makhluk pongah macam gini, dosa ngga, sih?
Tbc...
Gimana? Gimana?
Suka dengan novel ini?
Yuk, ramaikan dengan komentar kalian😘😆
Bagi pembaca baru, boleh kenalan sama aku dan untuk pembaca setia, yuk isi daftar hadir😉😉😉
.
.
.
Kak Rurs with💎
![](https://img.wattpad.com/cover/238012768-288-k1554.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Labirin Kala & Rasa ✔️ (Sudah Terbit)
Narrativa generaleLabirin Kala & Rasa "Mengisolasi nostalgia, mendegradasi cela dan mengekspansi karsa" Gendari berpikir bahwa mengabadikan kegagalan kisah cintanya di dalam novel adalah cara terbaik agar dirinya bisa berpaling dari Akalanka Bachtiar dan semua hal ya...