Nata tersenyum lebar setelah mendapat balasan pesan dari Nanda kalau dia mau pergi jalan bersama dengannya. Rasa yang selama ini tidak Nata rasakan.
“Mas!” panggil Davina tiba-tiba, hampir membuat ponsel Nata digenggamannya terjatuh di kolam ikan.
“Bisa kan lain kali enggak ngagetin?” lirih Nata dingin. Melirik Davina yang tersenyum tipis kearahnya. Nata menarik napasnya, “ada apa kesini?”
Davina tersenyum, “enggak ada apa-apa, Mas kenapa senyum gitu?”
Nata tersenyum kearah Davina. Davina semakin melebarkan senyumannya. Selama ini Nata belum pernah benar-benar tersenyum kepadanya. Davina yakin hati kakaknya sedang bahagia makanya dia tersenyum.
“Kepo, udah sana masuk. Nanti kalau mama tahu dimarahin.” Pinta Nata menyuruh Davina masuk kedalam rumah. Bukan karena apa, memang seharusnya Davina tidak disini.
Davina tersenyum mengangguk, berbalik badan berjalan kearah rumah. “Mama.” Panggil Davina melihat mama yang baru datang bersama papa.
Mama dan Papa tersenyum hangat kearah Davina, menatap dingin kearah Nata yang masih setia berdiri didepan kolam ikan.
“Kita masuk yuk!” ajak papa kepada Davina. Davina tersenyum dan berjalan masuk kedalam rumah bersama papa. Sedangkan Mama, dia menghampiri Nata.
“Kenapa kamu biarin Davina keluar malam-malam gini? Kamu kan tau kalau--”
“Iya, aku tau.” Potong Nata sudah tau arah pembicaraan mamanya.
“Mama gak suka ya kamu memotong pembicaraan orang tua. Terus? Kalau kamu tahu kenapa kamu biarin Davina keluar?”
Nata menatap mamanya menahan amarah, takut kalau amarahnya tiba-tiba meledak. “Dia udah gede ma, dia tahu konsekuensi apa yang udah dia buat.”
“Tapi kamu kan tau kalau adik kamu itu berbeda.”
“Iya-iya aku tau.” Balas Nata sedikit keras. “Aku tau dia enggak bisa kena dingin, dia enggak bisa kena asap, dia enggak bisa kena debu. Aku tau semua tanpa harus mama ngomong lagi.” Nata menarik napasnya dalam, amarahnya sudah diujung tanduk. “Sekali aja bisa kan enggak mikirin Davina terus, aku juga anak mama.” Lirih Nata.
“Nat!” Mama menggenggam lengan Nata. “Tolong ngerti posisi mama.”
Nata melepas genggaman tangan mamanya, “aku udah capek.” Nata berjalan kearah rumah.
Melirik Davina yang ada disamping pintu bagian dalam. Sepertinya Davina mendengar pembicaraannya bersama mama. Peduli apa dia, toh enggak bakal merubah apapun. Nata
langsung menuju kamarnya dan mengunci pintu. Tak peduli jika dia disebut enggak gentle, semua orang punya perasaan.“Ma.” Davina melihat kearah mamanya yang berjalan masuk. “Mas Nata enggak salah, tadi emang Davina yang tiba-tiba keluar.”
Mama tersenyum, mengelus pucuk kepala Davina lembut.
“Benar kata mas Nata. Anak mama itu ada dua, bukan aku aja. Seharusnya mama juga perhatian sama mas Nata.”
Mama tersenyum, “Masmu ngerti kok kenapa mama begini.” Jawab mama memeluk Davina.
Davina tersenyum tipis, tidak yakin dengan ucapan mamanya. Mama lupa kalau Davina sudah besar, dia sudah kelas 8 SMP. Dia tau mana yang benar mana yang hanya kalimat penenang.
#
“Gue serasa kayak cabe-cabean tau gak sih. Nunggu dipinggir jalan gini.” Ucap Nanda mengedarkan pandangannya ke jalanan yang ramai. Setelah proses introgasi dengan orang tua, akhirnya Nanda bisa keluar rumah dan juga berkat bantuan Aan. Nanda bilang kalau dirinya menemani Aan pergi ke kota untuk beli buku di Gramedia. Berhubung rumah Nanda di kabupaten jadi agak sulit untuk meminta izin, ditambah lagi jarak kabupaten tempat Nanda tinggal dan pusat kota berkisar satu jam.
Aan menggidikkan bahu, tak menggubris Nanda. “Masih lama gak sih cowok lo?”
Nanda mengedarkan pandangaannya. “Gak tau.”
Aan membuang napasnya kasar, “gue tinggal deh, tunggu aja sendiri.”
Nanda terbelalak, langsung memegang tangan Aan. “Jangan dong! Gue makin kayak cabe-cabean nanti.”
Aan menghela napas. “Jadi tumbal kedua kalinya.”
“Jahat banget sih, masa tumbal. Gitu amat. Gak ikhlas lo ya?” Nanda membuka ponselnya, ada notifikasi panggilan masuk dari Nata. Tanpa menunggu lebih lama lagi, Nanda langsung memanggil balik. “Tuh dia udah sampai.” Ucap Nanda menunjuk kesebrang jalan. Melihat Nata yang sedang menyebrang.
“Sorry, lama ya?” ucap Nata membuka helm.
Nanda tersenyum. “Enggak begitu.” Balas Nanda melirik Aan yang sepertinya hendak mengomel karena sudah menunggu Nata lama.
Nata melirik Aan yang menatap Nanda, mungkin kakak Nanda atau sepupunya. “Langsung berangkat?” tanya Nata diangguki oleh Nanda. Dengan segera, Nanda langsung beralih ke motor Nata.
“Gue duluan An.” Pamit Nanda mendapat anggukan pelan dari Aan.
Nata tersenyum, “duluan mas.” Pamit Nata. Nanda menahan senyumnya kala Nata memanggil Aan Mas.
#
“Woi mabro… tumbenan main.” Sapa David; teman akrab Aan sekolah. Semua tentang Aan pasti David tahu, David tau siapa Nanda bahkan hampir keseluruhan sifat Aan yang cukup dingin pun dia tau. Hanya David yang selama ini bisa mengerti Aan, begitu sebaliknya.
Aan tersenyum tipis, “biasa, dijadiin tumbal sama Nanda.” Jawabnya malas langsung duduk.
“Sabar, harusnya lo senang dong. Berarti Nanda percaya banget sama lo.” Balas David mencoba menetralkan perasaannya.
Aan tersenyum tipis, ternyata tidak salah dia memilih David menjadi pelarian ceritanya. Tidak peduli dengan omongan orang yang menanyakan kok bisa laki-laki dengan laki-laki bersahabat sedekat ini. Kadang Aan dan David pun heran sendiri, apa mereka hanya berpikir kalau yang boleh punya sahabat dekat itu cewek sesama cewek ataupun cowok dengan cewek sedangkan cowok dengan cowok enggak boleh?
“Tenang aja, gue sendiri dirumah.” Ucap David melihat Aan yang celingukan melihat setiap sisi rumahnya. Sedangkan Aan langsung merebahkan tubuhnya disofa begitu tau kalau rumah David kosong. Kalau disini ada orang tua David, tak mungkin Aan berani bertingkah seperti ini, meski Aan sudah terbiasa kesini, menurutnya tidak sopan.
“Gue numpang disini ya sampai Nanda pulang.” Ucap Aan diangguki oleh David.
“Terserah lo, tapi dirumah gue lagi gak ada stok makanan. Jadi nanti kita beli.”
○○○○○○○○
To Be Continue
-Jumat, 9 Oktober 2020-
KAMU SEDANG MEMBACA
Popcorn Boy [NSHS 1] [END]
Novela JuvenilAdik kelas cowok jadi pacar? Konon, masa SMA adalah masa yang paling indah. Masa pencarian jati diri dan cinta yang sesungguhnya karena masa SMA adalah masa yang bisa kita bilang masa terakhir saat remaja. Tapi, bagaimana jadinya kalau kakak kelas c...