10. Sebuah perbincangan di Braga

163 43 17
                                        

Tiga kalimat yang dapat menggambarkan suasana saat ini

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Tiga kalimat yang dapat menggambarkan suasana saat ini.

Tegang, bingung, dan begitu canggung.

Baik Lia maupun Ryuzna terus menggenggam tangan Inara, mencoba menenangkan sahabatnya yang tengah bingung itu.

Hal ini bermula ketika Inara yang hendak berangkat ke Bandung untuk olimpiade, awalnya tidak ada yang salah. Tetapi semua dimulai ketika Karin datang, awalnya mereka kira Karin hanya sebatas datang untuk menyemangati Inara. Tetapi berubah kacau ketika Karin ingin ikut ke Bandung dan berseteru dengan Theo, apalagi ketika mereka mengetahui sebuah fakta mencengangkan ditengah perdebatan Karin dan Theo.

Bahwa sebenarnya, orang yang selama ini diceritakan Karin adalah...Theo.

Keadaan masih begitu hening, mereka masih merasa begitu canggung ketika Karin dan Theo masih saling bertatapan dengan benci.

Akhirnya, Bu Ziva—guru pembimbing olimpiade pun datang menghampiri Inara. Beruntungnya, Bu Ziva bisa memecahkan kecanggungan yang terjadi.

“Nara, ayo kita berangkat sekarang.” Bu Ziva menggiring pundak Inara menuju mobil milik pihak sekolah.

Inara mengangguk, lalu menoleh pada teman-temannya. “Gue pamit ya,”

“Kita juga pamit balik ke kelas dulu ya. Semoga selamat sampai tujuan, dan lo bisa menangin olimpiadenya!” ucap Lia menyemangati temannya.

“Selamat berjuang, bosku! Tungguin kita nyusul ya,” seru Ryuzna.

Lalu mereka berempat melangkahkan kaki mereka menjauhi Inara, menyisakan Theo yang masih betah berdiri disana, namun dengan wajah yang terpaling dari Inara.

“Gue pamit, Theo.”

━━

Lia tengah berjalan sendirian menuju lokernya, mungkin bel pelajaran berbunyi sekitar 15 menit lagi.

Begitu Lia membuka loker dan mengambil salah satu buku Ekonomi diantara beberapa tumpukan buku lainnya.

Diam-diam, Arkasa berjalan pelan menghampirinya—bersiap mengejutkan Lia untuk ketiga kalinya.

“B—”

“Kagetin lagi aja, gue nggak bakal kaget.” Sahut Lia dengan cuek.

“Yah gagal,” ujar Arkasa dengan sedikit kecewa.

“Padahal gue pengen liat ekspresi lucu lo kalau lagi ka—” Ucapan Arkasa terhenti ketika Lia berbalik, menatapnya sambil menunjukkan satu bungkus biskuit Regal yang ia temukan di dalam loker.

“Ulah siapa?”

“Hehehehe gue,” Arkasa menggaruk kepalanya seperti orang kutuan. “T—tapi gue kan janji bakal kasih lo biskuit Regal setiap hari, iya ’kan?”

𝐌𝐚𝐚𝐟𝐤𝐚𝐧 𝐀𝐤𝐮 #𝐓𝐞𝐫𝐥𝐚𝐧𝐣𝐮𝐫𝐌𝐞𝐧𝐜𝐢𝐧𝐭𝐚 Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang