Seperti semua orang bahagia kecuali aku
Terasa lebih sakit saat aku tersenyum dibandingkan menangis
Meskipun aku berusaha menahannya setiap hari, meskipun aku berusaha bertahan
Tapi, ini tidak bekerja secara baik, aku butuh tanganmu saat ini=====
Pensilku diambil, rambutku ditarik hingga sedikit terluka, tasku tiba-tiba hilang dan aku bukan tipe yang menyimpan buku di loker atau laci mejaku. Aku hanya bisa diam. Mereka terus melemparkan garam ke mataku, dan mirisnya, aku tidak bisa berbuat apa-apa dan saat itu benar-benar sepi. Aku hanya bisa diam sambil menangis sambil menatap jilbabku yang sedikit terbuka dan rusak karena digunting.
"Kamu kelompok ini, kan? Ayo kerja bareng." Aku bukanlah anak yang begitu menonjol atau pentolan kelas. Nilaiku biasa saja dan kadang-kadang memuaskan, hehe. Aku benci memaksa untuk beradaptasi dengan lingkungan baru tanpa seseorang yang merangkul lebih dulu. Dan aku benci diriku karena tidak mampu dan mau melakukannnya.
Anak sepertiku saja masih bisa sombong. Benar, aku pernah sombong dan merasa lebih baik. Konyol, bukan? Padahal aku hanya anak biasa agak bawah yang direndahkan. Seperti anak tidak tahu diri.
Temanku? Sedikit saja, hitunglah jarimu, jumlah temanku kurang dari itu. Aku juga tidak terlalu tahu. "Kamu punya pensil warna? Boleh pinjam warna pink?" Jatuh cinta dengan pelajaran hitung berhitung yang bukan seperti Matematika sejak aku masuk sekolah ini. Aku hanya anak biasa yang selalu membaca apa yang bisa dibaca dan selalu membuka dan membaca buku pelajaran saat anak-anak berteriak kesenangan dan berlari-larian di jam istirahat. Aku tidak pintar, aku hanya suka. Entah kenapa rasanya melegakan dan senang kalau aku membaca buku pelajaran berhitungku ini.
Ingat tentang soal temanku? Ya. Temanku sangat limited. Aku juga tidak terlalu tertarik untuk berteman atau sekedar mengobrol seperti yang dilakukan kebanyakan orang. Tapi, aku tidak sedingin itu, aku masih punya perasaan dan rasa kasihan.
"Kamu pernah nyontek? Sama kayak aku, dong.." Ia tersenyum dengan giginya yang sedikit rapi tapi tidak banyak berantakan. Satu-satunya anak yang kuajak berbicara lebih sering daripada yang lain. Ingat. Aku berbicara hanya seperlunya dan aku pernah berbicara dengan teman-temanku di kelas. Selain murid laki-laki. Mereka terlalu menyeramkan untukku saat itu.
Hah. Aku konyol sekali. Padahal tinggal menyapa dan berbicara. Hanya begitu tapi terasa sulit sekali. Tapi, aku bersyukur karena pertanyaan aneh dan abstraknya waktu itu. Dan kami bernasib sama ternyata.
Entah besok dan seterusnya kita bisa bersama lagi. Tapi aku senang mengingat aku pernah bersamanya, menjalani hari dan ujian yang sama. Topik pembicaraan yang sama, hobi yang sama walaupun itu semua berbeda.
========
Dalam momen seperti ini, saat air mata mengisi matamu, pegang tanganku erat
Haruskah kita lari?
Kita akan bersama, untuk bersembunyi di 9 3/4Bibbidi bobbidi kereta berangkat
Bibbidi bobbidi pulau ajaib kitaSaat kita melalui terowongan ini
Saat kita membuka mata
Mimpi kita berubah menjadi kenyataan====
"Aku pulang." Dengan bau kopi, aku berjalan lesu ke rumah dan masuk ke kamarku. Eugh, pengalaman mengerikan dan sekaligus akan selalu kuingat. Apa harus kuketik dan laminating?
CLUE 3: Tomorrow ft Together
"Bagaimana?" Aneh. Adikku tiba-tiba bersikap manis dan selalu menanyakan keadaanku. Itu sedikit.. menjijikkan. Mengingat ia orang yang gelian dan selalu gengsi kalau kutanya tentang sekolah dan belajarnya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Trust and Dream
Teen FictionMimpi yang ada kalau kita percaya bahwa ia ada. 1 Januari, my dream.