Inside Out

4 1 0
                                    

"Lagipula, buat apa memperhatikan kak Selena?" Akira tersenyum. Dia benar-benar tidak salah selama hidupnya ini selektif memilih teman seperjuangannya ke negeri luar. Marwa selalu mendukungnya, tidak membiarkannya jatuh dan sekeras mungkin berjuang agar ia dan Akira bisa sukses bersama. 

"Akh, lupakan. Mungkin aku tengah PMS waktu itu jadi agak sensitif." Tapi Akira juga sedikit lelah dan agak jengkel juga kalau membahas kak Selena. Kak Selena itu sosok senior yang levelnya sudah beda jauh di atas. Kalau kata pepatah jepang, seperti Bulan dan Penyu. 

"Halah.. kalau aku selalu pasang pola pikir seperti ini. Dengar baik-baik." Marwa merangkul Akira. Entah ke berapa kalinya tapi Akira merasa nyaman dan tidak risih juga.

"Mungkin kita ditempatkan di tempat paling bawah karena nanti.." Marwa meluruskan lengan kanannya ke depan.

"Nanti..?" Akira bingung.

"Nanti... kita akan naik! NAIK! Setinggi-tingginya! Seperti kata Umar, tokoh muslim yang menaklukkan 2/3 dunia ini. 'Terkadang, seseorang dengan masa lalu terburuk membuat masa depan yang terbaik'. Tapi, masa lalu kita baik-baik saja, sih.. bagus malah." Marwa terkekeh kecil. 

Kali ini Akira paham. Jadi, dia diam dan tersenyum. 

=====

"Aku ingat, pernah baca buku seri ini, kan? Seri ini, aku yakin kau pasti pernah maniak sekali dengan buku ini!" Akira tersenyum. Masa-masa sekolah dasarnya sangat berwarna dengan buku-buku ini. 

"Akh! Aku cinta sekali dengan perpustakaan ini! Inilah... surga dunia! Paradise..." Marwa duduk di anak tangga yang ia bawa dan membaca buku-buku masa kecilnya dulu. Kilas balik ke masa lalu mengingat kampung halamannya cukup jauh dari tempat dia belajar di sini.

"AKH! Aku dulu selalu buat cerita dengan plot yang sama seperti ini, mengingatnya jadi cringe sendiri.." wajah Marwa memerah. 

Akira tertawa kecil. Tiba-tiba dia ingat perkataan seorang teman dari Sekolah Dasar-nya dulu.

"Akh, bosan sekali. Alurnya hanya itu-itu saja dan lama-lama menggelikan, heuh.." Namanya Yuli. 

Akira tim netral di kelasnya. Terkadang oleng kesana kemari. Tapi, dibanding harus nge-stan dengan satu kelompok dan saling fanwar, dia lebih memilih di tengah-tengah, netral dan saling mendominasi satu sama lain. Orang-orang di kelas senang sekali bertengkar, Akira selalu heran pada hal itu hingga sekarang. Entah.

Akira lebih suka komik dibanding novel yang hanya berisi tulisan-tulisan. Tapi, ada juga kalanya dia menikmati alur adiknya novel, novella atau novelet. Cerpen juga mungkin.

Yuli. Anak yang level membacanya berbeda dari anak yang lain. Dia snagat suka novel yang tebalnya bisa smapai 400 halaman keatas, berisi tulisan serta tema, alur dan plot yang tinggi, menantang dan membuat kepala Akira bisa kepanasan ketika membacanya. 

Akira tidak protes. Setiap orang punya kesukaan yang berbeda dan itu wajar. Tapi, lama-lama ia kesal karena Yuli ini selalu merendahkan bacaan yang digemari banyak anak di sekolahnya. 

Akira tidak suka berdebat hal yang tidak penting, karena hanya akan membuang waktu dan tenaga. Untuk mengerjakan tugas saja dia butuh energi yang lebih besar dari yang digunakan untuk berdebat dan bertengkar. Sayangnya baru beberapa nomor ia mengerjakan sudah layu duluan. Tapi, bisa dibilang sama Sekolah Dasarnya cukup menyenangkan dengan bumbu drama. 

"Aukh! Mengingatnya aku jadi geli, ampun.." Akira bergidik geli. Tapi dia tersenyum. Lalu bergidik lagi. Menyenangkan sekaligus menggelikan memang ketika kilas balik ke masa lalu itu.

"Tidak mungkin akan ada cerita dengan plot berat seperti itu kalau alur klisenya tidak ada. Apa orang-orang tidak berat dan pusing terus membaca yang berat-berat seperti itu? Adegan klise juga bisa jadi pencair suasana. Huh.." Marwa yang ada di kelas sebelah menggerutu kelas pada Akira. 

Trust and DreamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang