"Apa maksud ucapan kamu tadi di sekolah? Kamu mau buat guru kamu berpikir yang tidak-tidak tentang kami?" Tanya mama ketika ia melihatku masuk ke rumah
"KAMU PUNYA MULUT KAN? JAWABB" bentak papa.
Aku memejamkan mataku sebentar lalu kembali membukanya, menerima tatapan tajam yang diberikan kedua orangtuaku.
Apa mereka tak mengerti kalau aku lelah, baru saja pulang dari sekolah dan langsung di sambut perdebatan ini. Sungguh, aku benar-benar merasa lelah menghadapi semuanya.
Aku tak kunjung memberikan jawaban kepada papa, yang membuat amarahnya semakin memuncak. Aku tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.
PLAKKK
Papa menamparku. Tak masalah, ini tidak terlalu berarti. Nyatanya, tamparan ini tak sesakit luka-luka yang mereka gores.
"Punya mulut kan? Bisa bicara? Kalau orangtua ngomong tu di jawab" kini mama yang memarahiku.
"Apa yang harus aku jawab? Begini, tujuan aku mengatakan hal itu supaya bu Manda tahu kalau aku punya orangtua yang tak mau mengakui anaknya, yang selalu sibuk dengan urusan anak angkatnya"
"Nadine" tegur bang Vino yang baru datang dengan Bella. Bang Vino baru saja menjemput Bella dari sekolah.
"Bang, liat adik kesayangan bang Vino. Dia itu gak sopan banget, sama orangtua kok kayak gitu. Harusnya dia bersyukur karena dia punya orangtua kandung sedangkan aku, aku bahkan sudah kehilangan mereka" ujar Liva dengan air mata yang ikut meluruh.
Aku menghampirinya.
"Berhentilah menjadi drama queen sehari saja" ujarku dengan tatapan yang datar dan suara yang dingin juga tajam.
Mama mendorongku.
"Jangan berkata seperti itu pada anak saya, seharusnya perkataan itu untuk kamu. Disini, kamu yang sedang bermain drama. Dan apa yang Liva katakan benar, seharusnya kamu bersyukur"
"Bersyukur atas apa? BERSYUKUR KARENA AKU BISA TERLAHIR DI KELUARGA KAYA? Oh iya, tentu aku bersyukur. Aku juga bersyukur bisa memiliki orangtua seperti kalian. Tapi, itu DULU. Iya, Nadine kecil selalu bersyukur karena bisa memiliki orangtua seperti kalian yang sayang sekali dengannya. SEKARANG? Tenang, aku bukan seseorang yang gak tahu diri, aku masih bersyukur bisa memiliki kalian sebagai orangtuaku. Orangtua yang sangat-sangat membenci anaknya, orangtua yang lebih menginginkan kehadiran ANAK ORANG LAIN dibandingkan ANAKNYA SENDIRI"
PLAKK
Mamaku menamparku. Aku menghela nafasku, ini sudah terlalu biasa, ia sudah terlalu sering. Sebelum aku tinggal di London juga ini sudah menjadi makananku sehari-hari, jadi tak masalah.
"Rasanya akan sangat menyenangkan bila aku bisa kembali ke London, tapi aku tahu, kalian masih menginginkan penderitaanku. Dan selama itu buat kalian bahagia, aku akan tetap ada di sini. Walaupun, kebahagiaanku gak ada di sini" ujarku lalu meninggalkan mereka dengan perasaan yang entahla..
Sedih, kecewa, marah. Semuanya menjadi satu.
Tanganku sempat di tahan oleh bang Vino, ia menggelengkan kepalanya, menandakan ia tak setuju kalau aku keluar rumah.
Dan saat itu, air mata ini malah jatuh seenaknya. Kurasa mereka melihat air mataku yang jatuh begitu saja, dari ekor mataku aku melihat Liva tersenyum penuh kemenangan.
"Lepasin, Nadine mohon" ujarku dengan suara yang seakan tak bertenaga lagi. Dapat ku lihat, mereka masih memperhatikanku.
Bang Vino segera membawaku ke dalam dekapannya, dia selalu bisa membuatku tenang, tapi ini tidak kuinginkan disini, aku tidak ingin mereka melihatku menangis.
"Bang, nadine mohon, lepasin nadine" bisikku.
Bang Vino melepaskan pelukannya, membuatku langsung pergi dari hadapannya. Aku masuk ke mobilku, mengendarainya ke satu tempat, tempat yang selalu menjadi pelampiasan amarahku. Tempat yang sangat indah, bagiku.
Sedangkan di rumah itu...
Author's POV
"Kalian lihat?? Sudah puas melukai anak kalian sendiri ? Tidak mau mengakuinya sebagai anak? Tak masalah, tapi jangan menambah luka di hatinya" bentak Vino lalu masuk ke kamarnya.
Bella beranjak dari sana, masuk ke kamarnya. Air matanya mengalir begitu saja, entahla rasanya sangat sakit melihat kakaknya di perlakukan seperti itu, sayangnya, ia juga pernah termakan omongan gadis itu, dan ia pernah ikut membenci kakaknya.
Baginya, Nadine begitu kuat. Kalau ia ada di posisi Nadine, ia pasti tak bisa menghadapi masalah itu.
Bella sangat menyesal pernah terhasut ucapan Liva, ia berjanji pada dirinya sendiri, kalau ia tidak akan pernah lagi mempercayai Liva, dan ia akan selalu ada di pihak kakaknya, sampai kapan pun itu.
🍏🍏🍏
Nadine berjalan melewati jembatan yang dikedua sisinya terdapat air dengan arus yang sangat tenang, jembatan ini bukan jembatan biasa, jembatannya sangat indah, di sebrang jembatan ini juga banyak sekali bunga-bunga, dan ada tempat rahasia yang Nadine yakini hanya diketahui oleh dirinya dan Vino.
Air matanya masih saja mengalir. Jujur, ia muak dengan semuanya. Tapi, gadis itu tidak bisa kembali sekarang.
Bukan karena Nadine mau membiarkan mereka terus melukai hatinya, TIDAK. Nadine tidak sebodoh itu dengan terus membiarkan dirinya disakiti mereka, ia juga tahu, kepergiannya akan membuat mereka lebih senang. Tapi, ada satu hal yang harus diselesaikannya. Semakin cepat ia menyelesaikannya, semakin cepat pula ia terbebas dari semua bebannya.
"Ehh?"
Seseorang menarik tangannya menjauhi jembatan, membawanya ke taman yang dihiasi dengan bunga-bunga.
"Lo gila ya?ngapain coba sendirian, nangis-nangis, dijembatan lagi. Mau bunuh diri?"
Nadine menatap cowok di depannya, Nadine pernah melihatnya di sekolah. Tapi ia tak mengenal laki-laki itu, ia hanya pernah berpapasan beberapa kali dengannya. Nadine menghapus air matanya kasar.
"Lo kali yang gila, mikir aja, ngapain gue bunuh diri di jembatan yang gak terlalu tinggi ini dengan air sungai yang tenang, gak ada bebatuan, ya jelas gue selamat la, buang-buang waktu tahu gak kalau gue bunuh diri di sini, mending juga loncat dari gedung tinggi"
"Tuh kan, lo mau bunuh diri?"
"Serah dehh"
Dia terus mengikuti Nadine, Nadine yang risih segera menghentikan langkahnya, berbalik menatap laki-laki itu.
"Apa lagi sih?"
"Gue mau ngikutin lo, takutnya lo mau loncat dari gedung tinggi"
"Stop ngikutin gue. Gue gak mau bunuh diri, ngerti?"
Nadine mempercepat langkahnya meninggalkan laki-laki itu. Niatnya ingin menenangkan diri, malah semakin emosi karena laki-laki yang tak jelas itu.
Nadine mengendarai mobilnya. Rasanya ia ingin pulang, karena gadis itu benar-benar lelah. Tapi Nadine sangat malas, jika ia pulang, dan harus menghadapi keributan lagi. Gadis itu terlalu lelah untuk menghadapinya.
Nadine menelfon kedua sahabatnya, Meisya dan kestia.
"Guys, ke mall yuk, gue bosen nih"
"Bosen atau lagi galau?"
🍏🍏🍏
24 okt 2020
Cindy Caroline
KAMU SEDANG MEMBACA
NADINE (Completed)✔✅
Novela JuvenilSahabat bisa jadi musuh, keluarga yang harusnya penuh dengan kasih sayang bisa menjadi alasan banyaknya goresan luka dihatinya. Kepercayaan adalah hal yang sulit dibangun tapi sangat mudah dipatahkan. Hidup yang semula penuh dengan kebahagiaan sek...