Setelah di antar Caca pulang sampai rumah, Rose dituntun bunda Irene menuju ke kamarnya untuk beristirahat.
Tapi saat itu, mata yang seharusnya terpejam kembali terbuka saat indra pendengarannya menangkap suara mesin mobil yang sangat familiar di telinganya.
Itu ayah Suho, ayahnya pulang ke rumah setelah berbulan-bulan memilih tetap berada di rumah istri kedua.
Rose, dengan segera gadis itu melesat pergi ke lantai satu.
Tapi seketika senyumnya hilang saat mendengar suara bunda Irene yang tak suka akan kehadiran suaminya.
Rose tidak jadi melanjutkan untuk bertemu ayahnya, dia menghentikan langkahnya di tengah-tengah anak tangga. Dia lebih memilih mendengarkan apa saja yang akan orangtuanya debatkan.
"Masih inget pulang lo?" Tanya bunda, menghadang suaminya diruang tamu.
"Mending gak usah pulang sekalian, lo gak ada gunanya sama sekali!" Sarkas bunda, membuat ayah Suho menjadi sedikit emosi saat dibilang 'gak ada gunanya sama sekali.'
"Gue cuman mau ketemu anak-anak doang!" Jawab ayah, melewati bunda yang sedang menahan amarahnya.
"ANAK? ANAK MANA YANG LO MAKSUD? ROSE SAMA PRIMA ITU ANAK GUE, BUKAN ANAK LO!" Bunda menyusul ayah yang berjalan menuju halaman belakang.
Tapi, Rose masih bisa mendengar teriakkan demi teriakkan itu dengan jelas. Membuat hatinya terasa teriris karena dari dulu selalu merasakan hal seperti ini, something yang membuat Rose trauma.
Untung prima sedang pergi ke Gramedia bersama Nana, coba kalau disini, mentalnya bisa terganggu lagi.
"MEREKA ANAK GUE JUGA! GUE BAPAKNYA!" Keduanya tersulut emosi, terlihat dari cara bicaranya.
"BAPAK? HARUSNYA MALU LO BRENGSEK! LO YANG BIKIN ANAK GUE MENDERITA DARI KECIL! LO YANG HANCURIN KEBAHAGIAAN MEREKA! LO YANG BIKIN SEMUA BERANTAKAN! DAN LO GAK ADA MALUNYA SAMA SEKALI? CIH!"
Rose terduduk disalah satu anak tangga, mengusap air matanya yang mengalir di pipi. Lebam bekas tonjokan Jeffrey pun terasa saat disapu oleh tangannya.
"IYA! GUE SALAH! GUE TAU ITU! TAPI GUE MAU KETEMU ANAK GUE SEKARANG!"
"GAK USAH NGAKU-NGAKU MEREKA ANAK LO, KALO LO BELOM BECUS JADI BAPAK BUAT MEREKA!"
"MAKSUD LO APA?!"
Bunda menendang vas bunga yang berada disampingnya, sampai menghasilkan bunyi begitu yang begitu keras.
"JAGAIN MEREKA KALO LO EMANG BAPAKNYA! LO LIAT MUKA SAMA BADAN ANAK LO, LIAT SEBERAPA BANYAK LUKANYA! LO BAYANGIN SESAKIT APA RASANYA!"
Rose tercengang, bundanya tahu tentang luka yang ada ditubuhnya? Bagaimana bisa?
"Siapa? YANG LO MAKSUD SIAPA?!" Tanya ayah, menggoyang bahu bunda.
"Bahkan lo gak tau, BAHKAN LO GAK TAU MEREKA BUTUH SESOSOK AYAH YANG SELALU ADA BUAT MEREKA!" Jawab bunda, mendorong dada ayah.
"Rose, dia kesakitan sekarang!"
"Rose kenapa?!"
"Gue gak tau! Tapi setiap dia tidur, dia selalu bilang pengen dijagain ayahnya! TAPI AYAHNYA GAK ADA BUAT DIA! LO BAYANGIN SESEDIH APA GUE SAAT ITU! GUE PENGEN LO PULANG BUAT ANAK-ANAK, TAPI GUE GAK BISA!"
Ayah terdiam, merasa sangat bersalah. Perasaan gagal menjadi kepala rumah tangga pun semakin membuatnya yakin kalau kedua putrinya saat ini membenci dirinya.
"Kenapa lo gak pernah bilang sama gue?!" Bentak ayah, membuat bunda tersenyum miring.
"Bilang kata lo? Pulang aja gak pernah, gimana gue mau bilang sama lo! Lewat hp? Lo sama gue masih jadi suami-istri, njing, apa pantes gue bahas soal anak-anak lewat media kayak gitu?" Kata bunda, masih mencoba untuk tidak menangis didepan ayah.
Ayah menundukkan kepalanya, memang ayah yang salah disini. Bunda pantas marah seperti itu.
Rose lari kedalam kamarnya, keluarganya terlalu rumit untuk dimengerti.
Kenapa harus keluarganya?! Kenapa harus dia yang lagi-lagi diposisi seperti ini?! Kenapa harus dia yang selalu mendengar orangtuanya bertengkar?! Kenapa?!
Si cantik menatap dirinya di cermin tempatnya merias diri, "gak lucu kan kalo gue bunuh diri sekarang?" Gumamnya, mengambil gunting didepannya.
"Gak!" Rose membuang gunting itu ke sembarang arah, "kalo gue mati prima gimana? Ck, tolol banget sih lo, se" lanjutnya.
"Gue hidup cuman buat di siksa gitu?" Tanyanya kepada diri sendiri.
"Tapi gue capek!" Teriak Rose, kemudian terduduk.
"Gimanapun gue manusia biasa, gue capek beneran! Gue harus gimana?!" Rose terlihat frustasi dengan keadaannya sekarang.
Bagaimana cara dia keluar dari kehidupan ini? Bahkan sampai sekarang kata 'bahagia' itu belum tersentuh olehnya.
"Gue iri, gue iri sama kalian yang hidupnya lebih baik dari gue" ucap Rose, kini menatap foto keluarga yang berumur belasan tahun.
Drrrtt.. drrrtt..
Handphone Rose bergetar, ada yang menelponnya.
"Assalamualaikum, kak."
"Waalaikumsalam, kenapa na?"
"Nana sama prima gak pulang ke rumah bunda ya, prima mau tidur di rumah ibu hari ini."
Rose bernafas lega kalau begitu.
"Gak apa-apa kalo prima tidur di rumah ibu, jagain terus prima ya, na. Karena cuman Nana yang sekarang kakak percaya."
"Iya kak, kakak gak usah khawatir. Kakak juga jaga diri kakak baik-baik, soalnya Nana gak suka kalo kakak sakit."
"Bahkan sekarang kakak udah mati, mati rasa" gumam Rose.
"Kenapa kak?"
"Eh? Gak apa-apa kok. Oh iya, kamu sama prima udah makan belum?"
"Udah kok kak, kita tadi makan seblak. Kalo kakak udah belum?"
"Kakak belum, hehe."
"Kakak ini kebiasaan banget sih! Kalo gitu Nana gak jadi tidur di rumah ibu deh, Nana mau ngeliat kakak makan aja!"
"Heh! Kakak abis ini makan kok."
"Jangan lupa pap, terus kirim ke Nana."
"Iya, Nana."
"Ya udah sana makan! Wassalamu'alaikum."
"Waalaikumsalam."
Sampai saat ini, Rose masih tidak mengerti dengan adiknya yang satu itu, kenapa dia bisa sangat sayang kepada dirinya dan prima.
Huhu, gue pernah ada di posisinya Rose. Dan itu gak enak banget:'(
Anjrit, keknya hp gue ke hack dah:)
KAMU SEDANG MEMBACA
Toxic Relationship
Teen FictionBuktinya yang lemah akan kalah. Jaehyun x Rose Sebelum membaca, saya ingin menekankan kalau saya tertekan, g dong. Cerita ini berdasarkan kisah realistis para muda-mudi yang sulit keluar dari lingkaran setan. Disini tidak ada unsur menye-menye, ceri...