21. Moccha Hilang

479 63 0
                                    

Pukul tujuh malam adalah jam makan malam untuk keluarga Artamaga. Razka yang hanya tinggal berdua dengan ayahnya sedang khidmat menyantap menu makan malam mereka. Tak ada sosok wanita yang mendampingi, ibu Razka telah berpulang ke pangkuan Sang Ilahi bahkan sejak Razka lahir.

"Sekolah kamu gimana?" Surya bertanya sambil menyantap hidangan penutup.

"Gak gimana-gimana, biasa aja."

"Ada cewek yang kamu suka, mungkin?"

Razka melirik ayahnya sejenak, beliau tengah tersenyum jahil. Razka membalasnya dengan senyuman mengelak. "Apaan, sih. Gak ada," kilahnya dengan satu kali suapan puding.

Surya berdecak. "Ayolah, kamu udah kelas dua belas. Tapi sekalipun kamu gak pernah ngenalin cewek sama Daddy. Yang aktif, dong. Kayak sahabat kamu itu, Daddy denger pacarnya ternyata anak temen Daddy."

Razka mendengkus ringan, saat ini ia malas membicarakan soal Jesper. "Biarin aja. Anak Daddy, 'kan, aku bukan dia."

Urung Surya memasukan sendoknya ke dalam mulut. Menatap putranya penuh selidik. "Pasti berantem lagi, kali ini gara-gara apa?"

"Gak usah dibahas, deh. Males."

"Ka, gak baik kamu gitu sama Jesper. Inget, apa yang selalu Daddy bilang? Keluarga Jesper udah gak kayak dulu lagi. Jadi apapun kondisinya, hibur dia. Satu-satunya temen dia yang paling deket, 'kan, cuma kamu. Dia udah anggap kamu sebagai kakaknya. Daddy juga udah anggap dia kayak anak Daddy sendiri. Meskipun kita gak punya hubungan darah, tapi ada ikatan yang udah terjalin. Lebih dari sekedar saudara."

Surya meletakkan peralatan makannya, ia mengusap bibirnya dengan serbet makan. "Daddy juga lagi berusaha cari pengacara buat bebasin Pak Rehan. Tapi rata-rata mereka semua menolak karena kasusnya terlalu berat. Apalagi keluarga Axellez selalu punya cara untuk mempersulit pembebasan Pak Rehan. Ini jadi semakin rumit."

"Bahkan Jesper aja bilang dia gak mau papanya bebas, kenapa Daddy harus repot cari pengacara buat dia?"

Surya menatap putranya, ia tersenyum tenang. "Kalau kamu di posisi Jesper, apa kamu juga akan gitu kalau Daddy dipenjara?"

Razka terdiam.

"Gak ada yang salah dengan membantu orang, Razka. Apalagi keluarga mereka bukan lagi orang asing buat kita. Kamu kenal keluarga Jesper dengan baik, 'kan? Begitu juga mereka ke kita. Kamu temennya, kamu harusnya bisa ngasih saran yang baik. Bukan malah mendukung apa yang dia lakuin sekarang kalau kamu tau itu salah."

Razka menunduk. "Maaf, Dad."

"Lain kali jangan diulangin, hm? Inget apa yang Daddy bilang tadi."

Razka mengangguk patuh.

Suara ketukan pintu dari pintu utama mengalihkan perhatian penghuni meja. Razka memilih beranjak. Berjalan menuju pintu depan dan membukanya.

"Brengsek!"

Razka mendapat tonjokan begitu ia membuka pintu. Ia terhuyung karena dorongan di wajahnya, menyeka kasar ujung bibirnya yang seketika berdarah.

"What's wrong with you?! (Lo kenapa, sih?!)"

Gama gelap mata, ia mencengkram kaos yang Razka pakai. "Mana Challa?!" tanyanya berang.

Razka mengernyit. "Moccha? Kenapa lo nanya sama gue?"

"Lo pasti nyembunyiin dia, 'kan? Challa! Keluar kamu!"

Razka mencegah Gama yang hendak masuk ke rumahnya, ia mendorong dadanya dengan kuat. "Heh! Lo jangan asal nuduh, ya. Gak ada Moccha di sini!"

"Lo bohong! Gue denger dari temen-temennya kalau Challa pulang sama lo. Sampai sekarang dia belum balik ke rumahnya, dia ke mana kalau bukan lo yang tau!"

Razka tertegun mendengar itu. "Moccha belum pulang?"

Gama menggigit pipi dalamnya, dia berdecih muak. "Lo gak usah pura-pura gak tau, deh. Sekarang gue tanya, Challa mana?!"

"Gue gak tau!" balas Razka memekik. "Gue emang bawa dia pulang sekolah, tapi—"

Razka langsung terdiam begitu ia menyadari sesuatu. Kontan ia mengumpat. Segera mengambil jaket dan kunci mobilnya dengan terburu-buru. Menyempatkan diri meminta ijin keluar pada sang ayah sambil memasang jaketnya tergopoh-gopoh. Ia berjalan keluar menemui Gama lagi.

"Lo ikut gue."

Gama menepis tangannya. "Ke mana?"

"Kita cari Moccha sama-sama."

***

Lebih dari setengah jam waktu yang dua pemuda ini habiskan untuk mencari Moccha. Namun pencarian mereka tak kunjung membuahkan hasil. Area pertama yang menjadi tempat pencarian mereka adalah rumah sakit dan sekitarnya. Gama mencari di luar, sementara Razka mencari di dalam. Ia bertanya pada setiap orang yang ia temui, sambil menyebutkan ciri-ciri Moccha juga pakaian terakhir yang ia pakai.

"Ketemu?" tanya Gama saat mereka bertemu di parkiran.

Razka menggeleng lemas. "Gak ada satu pun orang yang liat Moccha di sini."

Gama mengumpat keras. "Ini semua gara-gara lo! Kalau sampai Challa kenapa-napa, gue gak peduli lo siapa intinya lo bakal berurusan sama gue."

"Ancaman lo gak bakal berpengaruh. Yang penting sekarang kita harus cari Moccha sampai ketemu, ini udah malem."

"Ngapain lo care sama dia? Lo itu bisanya cuma nyakitin, Challa-gue selalu netesin air mata gara-gara ulah lo. Mulai sekarang, jangan ikut campur apapun urusan Challa lagi. Hidup Challa jauh lebih tenang sebelum lo dateng!" Gama mendorong bahu Razka dengan hentakan kuat.

Razka hanya bisa terdiam lagi. Dalam hati ia risau, takut sesuatu yang buruk menimpa Moccha. Apalagi di suasana malam seperti ini, di mana kira-kira gadis kecil itu bersembunyi.

Gama merogoh saku celananya saat ponselnya bergetar. Segera menekan tombol hijau untuk menjawabnya. "Iya, Ma?"

Diam-diam Razka mendengarkan apa yang Gama bicarakan dengan si penelfon itu.

"Em ... belum, Ma. Aku lagi berusaha cari di sekitar rumah sakit, katanya Challa terakhir terlihat di sini. Mama tenang aja, aku gak bakal pulang sampai Challa ketemu."

"..."

"Mama yakin?" Gama menghembuskan napas panjang. "Oke, aku bakal cari Challa lagi. Mama gak boleh banyak pikiran, Mama tenang dulu. Biar Challa jadi urusan aku." Gama melewati beberapa percakapan dramatis, sebelum ia menutup telfonnya lebih dulu.

"Siapa?" tanya Razka.

"Nyokapnya Challa, dia nanya Challa udah ketemu atau belum."

Razka hanya ber-oh-ria. Padahal benaknya bertanya-tanya tentang apa sebenarnya hubungan Moccha dan Gama. Sampai-sampai, Gama pun menyebut nama ibu Moccha juga dengan sebutan 'Mama'.

Gama tiba-tiba beranjak, membuat Razka mencegahnya pergi. "Mau ke mana lo? Moccha belum ketemu."

"Gue tau satu tempat yang pasti Challa datengin."

"Di mana?"

"Makam bokapnya."

SHE AND YOU ✓ Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang