Dio akan rasa penasaran yang tak bisa dibendung mencolek tangan Jesper. "Razka kenapa, ya?" tanyanya.
Jesper mengikuti arah pandang Dio. Ia ikut memperhatikan Razka yang duduk di kursi di depannya. Matanya hanya menatap lurus ke depan. Walau mulutnya akan membantah keras jika ditanya, tapi mata tajam laki-laki itu tak bisa dibohongi.
Sejak tadi, sejak ia masuk kantin hingga selesai memesan makanan. Yang ia perhatikan hanya Moccha. Gadis yang duduk di meja yang tak jauh dari mereka itu anteng menyantap makanannya. Yang menarik adalah, ia duduk ditemani seorang laki-laki yang Jesper ketahui bernama Gama. Yang ia tahu Moccha memang dekat dengannya, entah apapun hubungan mereka.
Jesper berdehem. Mencoba membuat Razka tersadar dari lamunannya. Namun tak kunjung ada perubahan, Razka masih menatap Moccha setajam elang yang siap menerkam itik kecilnya.
"Ekhem!" Jesper berdehem lebih keras.
Razka akhirnya mengerjap. Ia yang semula hanya mengaduk asal sedotan dalam jusnya itu mendengkus. Kesal Jesper membuatnya terkejut.
"Jealous, Pak?" Dio ikut memanas-manasi sambil menaikturunkan alisnya.
"Gak jelas," ketus Razka mengelak.
"Gak jelas atau gak mau ngaku?"
Razka menatap Dio dengan sinis. "Gak ada urusannya sama lo."
"Fix, emang jealous."
"Lagian, ya, Ka. Lo ngaku gitu aja apa susahnya, sih?" Jesper terheran-heran. "Lo malah bikin ribet semuanya. Padahal, cukup lo bilang ke Moccha kalau lo gak suka dia deket-deket sama Gama. Gue yakin Moccha gak bakal keberatan, kok."
Razka tak bereaksi.
"Selama yang gue liat ... Moccha sama Gama juga gak ada apa-apa. Setiap ditanya mereka kompak bilang cuma temen." Dio menambahkan. "Gak ada yang salah kalau lo juga mau temenan, ye, gak?"
Razka berdecak. Masih mengelak ucapan dua temannya walau matanya masih menatap Moccha. Gadis itu masih fokus menyantap makanannya, seakan tak terganggu seorang laki-laki yang sejak tadi berusaha menarik perhatiannya. Gama. Satu yang bisa disimpulkan dari seorang Moccha. Saat makan dia lupa segalanya.
Tak lama, Alin datang dengan membawa dua mangkuk salad buah. Ia berikan satu pada Jesper sekaligus menyerahkan garpu plastiknya.
"Nah, coba lo tanya sama Alin, deh."
Alin melengkungkan alisnya mendengar penuturan Dio. "Kenapa gue?"
"Lo udah lama kenal Moccha, 'kan?"
Alin mengangguk memasukan satu potongan semangka ke dalam mulutnya. "Temen SMP."
"Nah, kebetulan. Tuh, tanya aja."
Alin semakin tidak mengerti Dio malah memojokkan Razka. Setelah berpikir penuh pertimbangan akhirnya Razka bertanya padanya.
"Siapa cowok itu?" tanyanya sambil menunjuk Gama dengan dagu.
Alin mengikuti arah tunjuknya. Ia yang duduk di samping Jesper itu terpaksa harus membalikkan badan demi mengetahui apa yang ditunjuk oleh Razka.
"Oh, Gama. Dia temen deket Moccha, sejak SMP mereka selalu sama-sama. Emang seakrab itu. Tapi gue gak yakin, sih, kalau mereka cuma temenan. Buktinya, Gama gak pernah mau pacaran sama siapapun atau nerima cewek yang pernah nembak dia. Kalau dari cerita mereka-mereka, nih, denger-denger kar'na Gama suka sama Moccha. Tapi mungkin ... mereka kejebak friendzone."
Gestur tubuh Razka tidak berubah, tapi otaknya terus memikirkan sesuatu. Tentang Moccha, tentang seorang laki-laki bernama Gama itu.
"Udah jelas?"
Razka meliriknya. "Nanya doang."
"Tapi kepo." Jesper mencibir lagi. Menusuk buah di saladnya lalu memakannya sambil bergumam. "Tapi, menurut gue keknya mereka bukan friendzone, deh."
"Terus apa?" tanya Alin.
"Ada dua kemungkinan. Antara friendzone, atau backstreet."
Tiga orang dalam meja itu terkejut. Razka tiba-tiba beranjak. Dari kelihatannya sepertinya ia hendak menghampiri Moccha. Benar saja, bukan hanya menghampiri Moccha. Tapi ia juga membawanya pergi keluar kantin tanpa peduli gadis itu belum menyelesaikan acara makannya.
Razka melirik ke belakang. Syukurnya, si Gama-Gama itu tidak mengikuti. Dia hanya diam di sisi mejanya, menatap gemang Moccha yang dibawa paksa olehnya. Entah ke mana Razka akan membawa Moccha kali ini. Sepanjang perjalanan ia tak kunjung bersuara. Moccha pun juga diam. Ia hanya menurut saat Razka membawanya pergi.
Moccha tersadar saat Razka membuka sebuah pintu. Ternyata Razka membawanya ke perpustakaan. Suasana jam istirahat menjadikan perpustakaan lumayan sepi. Razka membawa Moccha ke sebuah meja baca, memintanya duduk di sana. Lalu ia pergi ke salah satu rak, mengambilkan tiga sebuah buku tebal untuk Moccha.
"Baca," perintahnya.
"Ta-tapi Moccha belum selesai makan, Razka."
"Gue bilang baca!"
Moccha tersentak. Membuka salah satu buku ensiklopedi elektronik di depannya dengan gemetar. Membaca halaman judulnya dengan mata yang sesekali melirik ke arah Razka. Pemuda itu duduk di depannya, sambil bersilang tangan menatapnya penuh waspada seperti pengawas ujian. Membuat nyali Moccha menciut karena sikap pemaksa yang tiba-tiba ditunjukkan laki-laki itu.
"Lo gak boleh keluar dari sini sebelum lo selesai baca buku itu." Suara Razka menginstruksi keheningan untuk membubarkan diri.
"Tapi nanti Moccha ...."
"Gak mau?"
"Ma-mau, kok."
Razka tersenyum miring. "Bagus."
Moccha menundukkan kepala. Kembali melanjutkan acara membacanya ditemani Razka yang masih bertahan dengan tatapan bengisnya. Sesekali pemuda itu menyeringai, merasa menang karena telah memimpin satu langkah lebih maju.
"Moccha lapar."
Razka memudarkan senyuman kecilnya mendengar Moccha mengeluh dengan suara lemah.
"Nanti makan."
"Moccha mau ...."
"Nanti."
"Moccha ...."
"Gue bilang nanti, ya, nanti."
Razka menelak dengan suara seram. Membuat Moccha sulit bergerak walau hanya meneguk ludah. Razka mengutas sebuah smirk, setidaknya ini lebih baik daripada menyaksikan Moccha duduk dengan Gama tadi, bukan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
SHE AND YOU ✓
Genç KurguOperasi yang ia jalani membuat Razka akhirnya bisa melihat lagi. Sayangnya, ketika ia sudah bisa melihat indahnya dunia, gadis yang ia sayangi harus menutup mata. Razka berusaha mencari mataharinya lagi, sampai ia bertemu dengan Moccha. Gadis ajaib...