25. Rasa Yang Baru [2]

473 66 2
                                    

"Terus ... kenapa lo bilang ke dia kalau lo beli HP itu dari hasil minjem duit ke gue?" Alin bertanya, sambil menyuapi Jesper dengan sesendok bubur.

Mereka duduk berdua di bangku panjang taman sekolah. Taman itu berada di belakang perpustakaan. Tempatnya cukup sepi dari pendatang, banyak dari golongan siswa yang memilih berdiam di kantin daripada di sini. Hari ini Alin menyempatkan membeli dua bungkus bubur ayam, dan kini ia tengah menyuapi Jesper karena pemuda itu sibuk dengan ponselnya.

"Kalau dia tau itu duit dari tabungan gue, lain lagi urusannya." Jesper menjawab, mengunyah makanan di mulutnya dengan santai.

"Lagian elo, sih, pake acara ngelempar HP-nya segala. Ujung-ujungnya lo yang rugi, 'kan."

"Abis gue emosi, baru kali ini gue sadar temen gue goblok banget. Gue ngerti kalau dia suka, tapi kelakuannya itu bisa nyakitin semua orang. Sampai sekarang gue heran, kenapa Kenzie masih sabar biarin Razka deket-deket sama Adiva."

Alin tersenyum masam. Ia sudah lama bersekolah di sini, tentu dia tahu apa saja yang terjadi tentang mantan ketua OSIS dan kekasihnya itu. Ia juga tahu seberapa sering Jesper berkelahi dengan Kenzie pada masanya. Juga seorang gadis yang Alin kenal bernama Adiva, sebelum koma seperti sekarang kerap kali Alin bertemu dengannya.

Tidak mengherankan mengapa gadis itu bisa menarik hati tiga laki-laki sekaligus, Alin pernah membuktikannya langsung. Dan ... ia pun mengakui jika Adiva memang layak, untuk Kenzie, Razka, atau kekasihnya ini, Jesper.

"Lo sendiri?"

Jesper melirik Alin dengan bingung. "Maksud lo?"

Alin menggeleng, mengaduk asal bubur di pangkuannya. "Sejak Adiva koma lo gak pernah jenguk dia sekalipun."

"Al, stop." Jesper berdecak. "Jangan mulai lagi."

Namun Alin tetap melanjutkan ucapannya. "Lo emang pinter ngasih saran ke Razka, Jes. Tapi lo jodoh buat ngertiin diri lo sendiri. Sebenernya, lo sama Razka sama aja. Cuman bedanya lo pinter nyembunyiin perasaan lo, sementara Razka milih nunjukin secara terang-terangan. Maaf kalau gue ngomong gini, tapi keknya daripada Razka lo yang belum bisa bergerak maju."

Jesper terdiam.

"Posisi gue sama kayak Moccha, yang beda cuma status kita aja." Alin terkekeh sambil menunduk.

"Al, lo baper sama hubungan ini?" tanya Jesper tak percaya. "Bukannya lo sendiri yang bilang ini cuma kontrak? Lo janji bakal nanggung semua biaya sekolah gue asal gue mau jadi pacar lo."

Alin menatapnya sambil tersenyum, sekilas ... matanya nampak berkaca. "Emang gak boleh?"

Jesper berhasil dibuat diam kembali.

"Kalau lo ngelarang gue buat suka sama lo, artinya lo sama kayak Razka. Lo jahat, Jes."

Alin menghapus air matanya yang baru menetes, meletakkan buburnya di atas kursi. Ia berdiri, hendak beranjak namun Jesper menahan tangannya. Jesper ikut bangun dari duduknya. Ia berdiri di dekat Alin yang membelakanginya. Memegang kedua bahu lalu memutar tubuhnya. Jesper menyentuh dagunya, meminta Alin mendongak. Mata gadis itu memerah, Jesper dengan lihai menghapus jejak air mata di kedua pipinya.

"Jangan pernah panggil gue jahat." Jesper bertutur dengan lembut. "Gue gak bakal maksa atau ngelarang lo buat suka sama gue. Itu hak lo."

Alin kembali menunduk saat Jesper melepaskan sentuhan di dagunya.

"Lo tau? Di tempat ini gue pernah bilang sama Adiva kalau kita cuma temenan, gue janji gue bakal jadi sahabatnya waktu itu." Jesper tersenyum mengingat kenangan itu. "Gue pantang buat melanggar janji gue, Al. Apalagi setelah apa yang Papa lakuin ke dia sampai Adiva koma seperti sekarang. Gue ngerasa meski cuma sekedar mikirin dia pun gue udah gak berhak."

Alin mendongak, menatap Jesper dengan lekat.

"Gue gak mau ketemu Adiva bukan kar'na gue belum bisa bergerak maju. Gue nyoba buat ngehargai lo sebagai pacar gue, dengan gak ketemu orang di masa lalu gue. Gue gak mau terperangkap di dalam lagi. Gue nyoba buat buka lembaran baru ... juga dengan orang yang baru."

"G-gue?"

Jesper menggeleng ringan. "Razka."

Wajah Alin langsung datar. Jesper tertawa melihat itu, ia mencium dahi Alin dengan lama. Membuat Alin seketika membeku di bawahnya.

"Iya, lo."

Alin melebarkan senyumnya bahagia, dengan perasaan membuncah memeluk Jesper dengan erat. Jesper pun membalas sama, mereka saling berpelukan di bawah pohon rindang di taman itu. Angin semilir menerpa mereka seakan bukan menjadi penghalang.

"Jadi sekarang kita pacaran beneran, 'kan?" tanya Alin mendongakkan kepalanya. Matanya memancarkan harapan.

Dengan yakin Jesper mengangguk. Alin menggigit bibir bawahnya tak percaya. Ia memeluk Jesper lagi. Hatinya menghangatkan karena ini, Alin merasa jutaan kupu-kupu berterbangan di dalam tubuhnya. Menggelitik seluruh organ hingga Alin merasa geli sendiri.

Getaran di saku roknya Alin rasakan, dengan malas ia merogoh sakunya. Mengambil ponselnya untuk melihat siapa pengacau yang menelponnya di saat seperti ini.

+628905*** is calling ...

Wajah Alin memucat, segera menekan tombol merah di ponselnya. Mematikan daya ponselnya agar dia tidak mengganggunya lagi.

"Siapa?" Pertanyaan Jesper membuatnya terkejut.

"Bukan siapa-siapa, cuma orang rumah."

"Lo yakin belum mau balik?"

"Gue masih takut." Alin mencicit sembari merunduk.

"Al," Jesper menyentuh dagunya lagi. "Lo bisa telfon gue kalau lo ada apa-apa. Tapi setidaknya lo nyoba pulang sehari aja, orang tua lo pasti khawatir."

"Lo gak ngerti, Jes. Gue gak mau—" Alin menutup mulutnya dengan helaan. "Gue gak mau liat Mama sama Papa bertengkar terus. Gue muak liat itu."

Jesper tersenyum. "Oke, gue gak bakal maksa."

Alin membalas senyumnya. Ia memeluk Jesper lebih erat lagi, menyembunyikan wajahnya di dada kekasihnya berharap rasa takutnya menghilang.

SHE AND YOU ✓ Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang