Razka belum tumbang. Setelah ia mendapat penolakan berkali-kali dari hasil menjemput Moccha hari-hari lalu. Kini ia masih ingin mencobanya lagi, berdiri di depan pintu rumah Moccha sampai Mbak Mery —pekerja di rumah Moccha— membukakan pintu untuknya.
"Den Razka ini gak nyerah-nyerah, ya. Moccha sendiri aja bilang gak mau ketemu Den Razka lagi, kok. Katanya, masih marah sama Den Razka."
Razka tersenyum kecut. "Gak pa-pa, Mbak. Moccha ada?"
"Aduh ... gimana, ya, ngomongnya?" Mbak Mery menggaruk belakang telinganya dengan kikuk. "Mbak gak berani bohong, tapi Mbak juga gak berani ngomong jujur."
"Gak pa-pa, Mbak. Cerita aja sama saya, kenapa?"
"Moccha nyuruh Mbak bilang ke Den Razka kalau dia udah berangkat," Mbak Mery menengok kanan-kiri, "padahal belum."
Razka geleng-geleng kepala dengan dengkusan geli. "Ya udah, sekarang Mbak Mery bilang ke Moccha kalau saya udah berangkat juga."
"Kenapa, Den?"
"Udah, Mbak bilang aja. Nanti sisanya biar saya yang urus."
"Ya udah, bentar, ya."
Razka mengangguk. Membiarkan wanita yang sepertinya sudah termasuk kategori tante-tante itu melenggang pergi ke dalam rumah. Untuk melaksanakan apa yang Razka bilang tadi. Sementara Razka masih bertahan di luar, ia tinggal menunggu hasil dari rencananya.
Razka menunggu sambil duduk di atas motornya. Tak lama, ia beranjak begitu melihat Moccha keluar dari dalam rumah sambil mengendap-endap. Sangat jelas terlihat, gadis itu terkejut menemukan Razka ternyata masih ada di depan rumahnya. Wajah Moccha pun nampak sebal.
"Razka bohong! Tadi Mbak Mery bilang udah berangkat."
Razka terkekeh, menghampiri Moccha dan berdiri di depannya. "Yang bohong duluan siapa?"
"Moccha," tanpa sadar Moccha menjawab, mencicit dengan suara kecil.
"Makanya, jangan suka bohong, senjata makan tuan, 'kan, akhirnya." Dengan iseng ia mencubit ringan hidung mungil milik Moccha.
Moccha menepis tangan Razka dengan kasar. Belum ada tanda-tanda kemarahan mereda dalam dirinya. Moccha bergerak menjauh, berniat menelfon Gama untuk menjemputnya ke sekolah. Bodohnya Moccha tidak sempat mengabari Gama untuk menjemputnya malam tadi, kalau ia tahu paginya Razka akan menjemputnya seperti biasa —walau selalu ditolak— Moccha sudah pasti akan menyewa Gama sebagai supir pribadinya.
"Gama di mana?" tanya Moccha langsung pada intinya.
"Udah di sekolah, kenapa?"
Moccha merungut sedih. "Moccha belum berangkat."
"Lho, aku kira udah. Kenapa kamu gak bilang tadi malem? Kan, aku bisa sekalian jemput kamu sama Emily."
"Gama mentang-mentang udah punya pacar sekarang sombong, gak inget Moccha lagi."
"Bukan gitu, Challa. Aku, 'kan ...."
"Tau, ah! Moccha marah!"
Moccha menekan tombol merah di ponselnya penuh amarah. Ia kesal, entah mengapa kini semua orang terlihat menyebalkan di matanya.
"Jadi gimana? Masih mau nolak?"
Moccha menoleh ke belakang, ia bahkan tidak menyadari kapan Razka berdiri di belakangnya. Mungkin juga turut serta mendengarkan percakapan telfon Moccha dan Gama.
"Lima belas menit lagi bel masuk, lho." Razka menyeringai, sambil menyodorkan helm wanita pada Moccha.
Moccha melirik sinis Razka dan helm itu, mengambilnya secara tidak santai. Moccha juga memasangnya asal di kepalanya. Ia heran mengapa kepalanya tak kunjung masuk.
"Itu kebalik, Cha."
Moccha berkedip beberapa kali. Tanpa mengurangi rasa jual mahalnya ia membenahi letak helmnya dengan lagak angkuh. Razka terkekeh lagi, ia naik ke motornya mempersilahkan Moccha menggunakan bahunya untuk pegangan. Namun Moccha malah memilih berpegangan pada besi belakang motor. Duduk dengan jarak yang terbilang jauh dari Razka. Razka duduk menjorok ke depan sementara Moccha memilih duduk di ujung sadel sambil melipat tangannya.
"Pegangan."
"Moccha gini aja," jawab Moccha sambil melengos.
Razka menghela, ia menekan koplingnya tanpa aba-aba sampai badan Moccha tersentak ke depan menghantam punggungnya ... untuk yang kedua kali. Moccha meringis mengusap helmnya yang terbentur dengan helm Razka.
Razka sendiri berusaha menahan kegeliannya melihat wajah Moccha dari kaca spion. "Makanya, pegangan."
Moccha mende-ish keras, dengan ragu-ragu namun pasti mencengkram jaket Razka di bagian pinggang sebagai pegangannya. Berusaha tidak menatap kaca spion kiri karena ada bayangan wajah Razka di sana.
"Udah?"
Moccha hanya berdehem.
Razka melajukan motornya dengan kecepatan sedang. Pagi ini matahari tidak bersinar begitu terik, cahaya hangatnya tak terlalu menyinari bumi. Karena itu, Razka mengurangi kecepatan motornya agar tak membuat Moccha kedinginan.
Sambil mengisi waktu Razka mencoba bertanya pada Moccha. "Gama udah punya pacar, lo gak cemburu?"
Moccha mengernyit. "Kenapa Moccha harus cemburu? Entar Gama besar kepala lagi. Ujung-ujungnya pasti ngeledek Moccha."
"Emang lo gak pernah ada rasa sama Gama?" Razka menanyakan hal yang paling memiliki tanda tanya besar di kepalanya.
"Ada, rasa sayang." Moccha menjawab dengan lugas.
Razka sempat menahan napasnya sejenak. Mencengkram dua stir kemudinya yang juga terasa dingin. Pertanyaan besar yang ingin ia ajukan memang telah terjawab, namun itu malah membuat pertanyaan yang lebih besar di benaknya berdesakan meminta jawaban.
"Lo punya hubungan apa sama Gama?"
Ini dia, pertanyaan besarnya. Jika ia telah mengantongi jawaban sepihak dari Gama, kini Razka ingin mendengarnya dari Moccha sendiri. Namun sayangnya, Moccha tak menjawab. Ia sempat melirik Razka lewat kaca spion, belum sempat Razka membalas tatapannya Moccha membuang muka ke arah lain. Menyembunyikan wajahnya di balik bahu lebar yang Razka punya.
Razka menghembuskan napas panjang. Mungkin ... belum saatnya ia mengetahui ini. Dengan lembut Razka memindahkan tangan Moccha yang mencengkram sisi jaketnya ke dalam saku. Menggenggamnya di dalam sana. Untungnya ia masih bisa menyetir dengan satu tangan, lagi pula di depan jalan sana sudah tidak ada lampu merah.
Moccha melirik tangan mungilnya yang berada di dalam saku Razka, selain rasa hangat ada yang menggelitik di dalam sana. Ia menatap Razka bingung, sementara pemuda itu menjawab.
"Biar gak dingin."
KAMU SEDANG MEMBACA
SHE AND YOU ✓
Novela JuvenilOperasi yang ia jalani membuat Razka akhirnya bisa melihat lagi. Sayangnya, ketika ia sudah bisa melihat indahnya dunia, gadis yang ia sayangi harus menutup mata. Razka berusaha mencari mataharinya lagi, sampai ia bertemu dengan Moccha. Gadis ajaib...