"So, welcome back, Leader. (Jadi, selamat datang kembali, Ketua.)"
Razka hanya tersenyum segaris. Mengisyaratkan ucapan terima kasih lewat senyuman mungil di bibirnya. Menyambut hangat para personil DarkRace yang bubar beberapa tahun lalu karena insiden yang mengakibatkan dirinya buta.
"Jadi, gimana rasanya? Masih sama?" tanya Dio, salah satu alumni dari anggotanya dulu.
Razka mengangguk sekali. "Better. (Lebih baik/lumayan.)"
"Lo sekarang lebih jutek, ya. Perasaan dulu sering, tuh, kita bercanda sampai ngakak seminggu."
Razka tertawa kecil. "Gue masih sama."
"Lo gak bakal menang debat sama dia." Jesper menimpali, berlagak acuh sambil sesekali menyesap kopinya.
"Ya, world change, people change. (dunia berubah, orang-orang ikut berubah.)"
"Sok inggris lu! Makan juga masih ikan teri." Fazel di dekatnya mencibir mendorong kepala Dio.
"Kasih sambal matah biar mantap!"
"Lha, bego."
Semua kompak tertawa renyah. Saling mengejek melempar candaan. Menjadikan kafe di pinggir jalan itu terasa ramai. Ia dan teman-temannya sudah merencanakan reuni kecil-kecilan ini sejak Razka keluar dari rumah sakit.
Meski yang datang tidak lebih dari 5 orang alias nyaris 50% nya terkendala kesibukan, mereka tetap memutuskan untuk nongkrong setidaknya satu minggu sekali. Hanya sekedar membagi kabar terbaru dari masing-masing kehidupan.
"Gue pamit, ya," ujar Razka tiba-tiba bangkit. Menyambar jaket dan ponselnya di meja.
Fazel mengernyit. "Cepet amat, Ka. Baru juga kita ngumpul. Nyantai dululah."
"Mau ke rumah sakit, udah jadwal check up," jelasnya singkat, merapikan jaket dan mengantongi ponselnya. "Ikut gak, Jes?"
"Gue di sini dulu, deh. Masih mau nostalgia."
"Ya udah gue duluan, ya!" Razka benar-benar melenggar pergi. Mengambil motornya untuk segera melaju ke rumah sakit atas perintah sang ayah, yang memintanya periksa sendiri di telfon beberapa menit yang lalu. Ayahnya sudah membuat janji dengan Dokter Irwan, Razka tinggal menemuinya saja.
Setidaknya dua kali setiap bulannya, ia harus rajin berkunjung ke dokter. Untuk sekedar memeriksakan perkembangan organ barunya. Jika dalam setengah tahun ini hasilnya terus mengalami peningkatan. Maka Razka tak perlu menjalani pemeriksaan lagi.
Lima belas menit tak terasa telah berlalu. Razka memarkirkan motornya dengan rapi di parkiran rumah sakit. Menyisir rambutnya ke belakang setelah melepas helm. Menanggalkan jaket kulit berwarna hitam yang membalut tubuh jangkungnya, mengikatnya di bagian pinggang.
Razka masuk ke rumah sakit sambil membawa hasil laporan minggu lalu. Menuju meja resepsionis untuk menanyakan jadwalnya. Ternyata benar, hari ini adalah jadwal pemeriksaannya. Razka berterimakasih kemudian menuju ruang pemeriksaan yang tertera dalam jadwalnya.
Ternyata, di dalam masih ada pasien. Terpaksa Razka harus menunggu di luar dulu. Nyaris setengah jam dan belum ada tanda-tanda namanya dipanggil. Razka yang merasa jenuh hanya bisa membaca kertas laporan di tangannya berulang kali sampai hafal. Membolak-balik kertas itu tak jelas entah apa gunanya. Razka memilih bangkit. Jika dugaannya benar, Dokter Irwan akan selesai lumayan lama. Ia memilih berjalan-jalan sebentar. Menyusuri lorong rumah sakit yang terlihat sepi sore ini. Hanya ada segelintir orang dan beberapa petugas rumah sakit yang berlalu-lalang.
Razka menghentikan langkah di depan ruang ICU yang pernah ia kunjungi sebelum benar-benar keluar dari rumah sakit hari lalu. Memperhatikan sosok yang terbaring di dalamnya. Beserta selang-selang penunjang kehidupan yang melekat di tubuhnya. Tubuh itu sama sekali tak bergerak. Telah lama hanya bisa terdiam kaku di atas ranjang yang telah ia tempati selama satu tahun ini. Gadis mungil yang terakhir kali Razka lihat selalu tersenyum manis. Dilengkapi dua lesung pipi yang menghiasi pipi bulat yang kini terlihat semakin tirus.
Razka mengubah pandangan. Memperhatikan pemuda yang tertidur dalam posisi duduk di samping brancard gadis itu. Menggenggam tangannya yang sepucat salju. Rambutnya yang panjang melebihi telinga dan kantong mata yang menghitam mengisyaratkan dirinya benar-benar kelelahan. Lelah menunggu gadis kecil yang tak kunjung tersadar dari komanya. Bukan hanya dia, Razka pun lelah menunggu. Untuk sebuah jawaban yang ia tak tahu apa hasilnya. Untuk sebuah rasa yang entah dibalas atau tidak. Tentang sebuah hati ... yang sedan menunggu patahannya kembali.
Razka menyentuh kaca di ruangan itu dengan gemetar. Mengisyaratkan kerinduan yang tak kunjung terjawab sampai detik ini. "Hai, Div."
KAMU SEDANG MEMBACA
SHE AND YOU ✓
Ficção AdolescenteOperasi yang ia jalani membuat Razka akhirnya bisa melihat lagi. Sayangnya, ketika ia sudah bisa melihat indahnya dunia, gadis yang ia sayangi harus menutup mata. Razka berusaha mencari mataharinya lagi, sampai ia bertemu dengan Moccha. Gadis ajaib...