30. Papa

477 61 0
                                    

Jesper dan sahabatnya tengah menunggu di ruangan itu. Di ruangan khusus di sebuah rumah tahanan untuk menjenguk narapidana. Beberapa saat yang lalu Jesper mendapat telfon dari kantor polisi. Yang mengatakan bahwa ayahnya, Rehan Emerlando ingin bertemu dengannya.

"Pulang aja, yuk! Males gue."

Razka menatap sahabatnya kesal. "Jangan gitulah, Jes. Mungkin ada yang mau dia sampein ke lo, makanya dia minta lo dateng ke sini. Udah, tungguin aja."

Jesper berdecak, suasana hatinya sedang tidak baik. Ditambah lagi ayahnya, yang selalu Jesper hindari untuk bertatap muka malah mengajaknya bertemu.

"Anda punya waktu lima belas menit." Seorang sipir datang, bersama seseorang yang ditunggu-tunggu sejak tadi.

"Makasih, Pak."

Jesper dan Razka menoleh begitu mendengar suara itu. Mereka berdiri tegap menatap sosoknya. Memakai pakaian biru tua dengan tulisan tahanan di belakang punggungnya. Kini rambutnya jauh lebih panjang, dengan wajah kusam yang terlihat lelah. Kantong mata yang membesar, dan brewok lebat yang hampir menutupi bibirnya.

"Jesper."

Jesper mengerjap saat sang ayah memanggil, tanpa menampilkan senyuman ia menjawab panggilan itu. "Iya, Pa."

Razka memilih mundur beberapa langkah, mempersilahkan Jesper dan ayahnya membuat privasi. Rehan maju memeluk putranya, namun Jesper malah bergerak mundur.

"Mau apa Papa minta aku dateng?"

Rehan tampak kikuk, ia menurunkan tangannya yang menggantung di udara tanpa mendapat balasan. "Papa mau ngomong sama kamu."

"Ya udah, ngomong aja, Papa cuma punya waktu lima belas menit. Tadi Papa udah buang dua menit Papa sia-sia."

"Jes," Razka memperingati sahabatnya. Menegurnya untuk bersikap lebih sopan.

Rehan menghela. "Papa minta maaf untuk semuanya, untuk semua sikap Papa dan untuk peristiwa itu. Papa tau Papa salah, Papa janji ... Papa akan perbaiki semuanya. Tolong, bantu Papa bebas dari sini."

Jesper melipat tangannya di depan dada, menaikkan satu alisnya dengan pandangan sinis. "Udah?"

"Jes, jangan gitu. Dia bokap lo." Razka memperingati sekali lagi. Namun Jesper mengacuhkan larangannya.

"Apa Papa pikir, setelah Papa minta maaf semua bakal balik kayak dulu? Orang tua Adiva bakal hidup, dan Adiva bangun dari komanya?" Jesper menggeleng samar sambil tersenyum pedih. "Nggak, Pa. Maaf dari Papa sama sekali gak berpengaruh. Udah terlambat, Papa menyesal setelah Papa tau apa dampak dari perbuatan Papa."

"Jes ...," lirih Rehan mengiba.

"Satu kata itu, gak bisa merubah apa yang terjadi. Penyesalan Papa gak ada gunanya. Aku sama Mama udah muak denger semua itu dari Papa. Itu sama sekali gak sebanding dengan apa yang Papa lakuin ke aku sama Mama. Juga apa yang Papa lakuin ke Adiva dan keluarganya. Mungkin, bahkan hukuman mati pun gak cukup untuk Papa."

Rehan terdiam, ia menunduk penuh sesal.

Jesper tersenyum. "Papa gak perlu khawatir, aku sama Mama udah ikhlas. Papa bisa pergi kapanpun Papa mau."

"Jes! Jesper!"

Panggilan Razka diacuhkannya, Jesper pergi begitu saja dari hadapan mereka dengan langkah lebar. Ada rasa muak yang tergambar di mata pemuda itu. Yang sanggup membuat siapapun mengasihaninya.

Razka menatap Rehan prihatin. "Maafin sikap Jesper, ya, Om. Dia ...."

"Nggak, gak pa-pa, Om bisa ngerti sama sikapnya." Rehan tersenyum miris. Ia memandang lekat sahabat putranya yang nampak tak nyaman. "Apa ... Om bisa minta tolong sama kamu?"

Razka mengangguk. "Apa yang bisa aku bantu, Om?"

***

"Sikap lo tadi sama sekali gak keren, Jes."

Jesper menoleh, menemukan Razka yang ikut bersender di kap mobilnya. Masih di depan rutan yang tadi mereka masuki. Jesper hanya diam meluruskan pandangannya lagi, malas untuk menjawab ucapan sahabatnya.

"Menurut gue ... Om Rehan pantas dapet kesempatan kedua."

Jesper berdecih. "Dia gak bakal dapetin itu."

"Jes, coba lo ngertiin posisi bokap lo. Dia udah menyesali semua perbuatan dia."

Jesper menggeleng tegas. "Coba kalau lo yang ada di posisi gue, Ka. Apa lo bisa nerima fakta kalau Daddy yang bunuh orang tua Adiva dan yang nyebapin dia koma sekarang?"

Razka diam.

"Lo diem, 'kan, akhirnya. Nyatanya, gue sama lo sama-sama gak bisa nerima fakta itu. Entah lo yang ada di posisi gue, atau sebaliknya! We're still stuck in the fucking hole. (Kita masih terjebak di lubang sialan ini.)" Jesper menekan dada Razka dengan jarinya.

"Ini gak ada hubungannya sama Adiva, Jes."

"Ada, jelas ada! Lo gak bakal ngerti gimana posisi gue. Apa lo tau? Selama Papa dipenjara gue udah gak bisa lagi majang muka. I'm angry, I'm embarrassed, I'm sick, I'm disappointed, but i have no something to do. (Gue marah, gue malu, gue sakit, gue kecewa, tapi gue gak bisa ngelakuin apa-apa.)"

Razka hanya bisa menerima amarah sahabatnya.

"Satu-satunya hal yang bisa lakuin cuma diem. Gue ngerasa kayak orang bego, Ka. Bokap gue dipenjara tapi gue gak bisa lakuin apa-apa. Bohong kalau gue bilang gue gak tersiksa liat dia pake baju dengan tulisan tahanan. Gue marah sama Papa, tapi gue juga gak bisa bohong kalau gue juga kasian liat keadaan dia kayak tadi."

Razka dibuat terdiam lagi. Sepertinya benar apa yang Jesper katakan, ia memang tidak bisa mengerti bagaimana rasanya di posisi Jesper.

Razka menyentuh bahunya. "Tapi please, Jes. Sekali aja lo renungin ini, masih ada kesempatan untuk bokap lo bebas. Gue sama Daddy juga bakal bantuin bebasin Om Rehan, lo tenang dulu."

Jesper tak merespon usapan yang Razka berikan di bahunya.

"Lo lagi stress, 'kan? Mending sekarang lo ikut gue."

Jesper menahan langkahnya. "Ke mana?" tanyanya datar.

"Ke taman, bantuin gue supaya Moccha mau ngomong sama gue lagi."

Jesper berdecak. "Apaan, sih? Itu urusan lo ngapa pake nyeret-nyeret gue segala? Kagak, ah!"

"Udah, ayo."

Razka menyeret sahabatnya secara paksa. Ia berharap ini bisa membantu Jesper mengurangi bebannya. Dengan ... menambah beban Jesper dengan beban yang ia punya. Haha, Razka tertawa jahat.

SHE AND YOU ✓ Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang