Moccha menoleh saat mendengar pintu kamarnya diketuk, menemukan ada Mbak Mery di sana. Moccha melanjutkan acaranya lagi, tidur tengkurap di kasurnya sambil menonton film dari ponselnya.
"Moccha, ayo keluar dulu. Di luar ada Den Razka, tuh."
Moccha mendengkus. "Moccha lagi mager, Mbak. Bilang aja ke dia Moccha lagi tidur."
"Em ... udah gak bisa."
Moccha berdecak terganggu. "Kenapa gak bisa? Cuma tinggal bilang—"
Ucapan Moccha terhenti. Begitu ia tahu ternyata Razka juga ikut masuk bersama Mbak Mery. Pemuda itu berdiri tepat di ambang pintu.
"Tuh, Den Razka liat sendiri. Begitu kelakuannya tiap Den Razka ke sini," adu Mbak Mery. Membuat Moccha mencebik mengembalikan posisinya semula.
Razka tersenyum. "Gak pa-pa. Makasih, Mbak."
"Ya udah, Mbak tinggal ke depan dulu."
Razka mengangguk. Ia beralih pada Moccha, mengetuk pintu kamarnya walau ia tahu sudah terlambat. "Boleh gue masuk?"
Moccha berdehem malas.
Razka pun masuk, mengambil tempat di samping Moccha. Duduk di pinggiran kasurnya sambil memperhatikan gerak-gerik gadis itu.
"Lagi ngapain?"
"Nonton," jawab Moccha singkat.
"Lagi gak sibuk, 'kan? Anterin ke toko buku, yuk!"
Moccha menggeleng lemas. "Mager."
"Ayolah, gue gak punya temen lagi selain lo. Gue udah bela-belain dateng ke sini jauh-jauh, lho."
Moccha masih tidak minat.
"Moccha?" Razka mendekatkan dirinya. Ia berbisik, "Gimana kalau pulangnya kita mampir ke toko souvenir?"
Moccha tampak tertarik. Ia lebih menajamkan telinga mendengar tawaran Razka. Tak ia pedulikan lagi film Barbie Thumbelina yang sedang ditontonnya.
Razka menyenggol lengannya. "Hei, lo bebas pilih apapun yang lo mau. Gue traktir."
Moccha menoleh semangat. "Bener?"
Razka mengangguk seraya tersenyum meyakinkan.
Moccha merubah posisinya menjadi duduk bersila. "Moccha gak bakal diturunin di tengah jalan lagi?"
"Nggak."
"Nggak bakal ditinggalin lagi?"
"Nggak."
"Moccha gak bakal disuruh ganti rugi, 'kan?"
"Nggak, Moccha," jawab Razka dengan sabar. "Mending sekarang lo siap-siap, gue tunggu di depan. Oke?"
"Oke."
Razka beranjak. Menyempatkan diri mengacak rambut Moccha yang terurai. Moccha memperhatikan sampai Razka benar-benar pergi dan menutup pintu kamarnya. Moccha menggigit bibir bawahnya karena geregetan sendiri. Mencak-mencak tak jelas di atas kasurnya karena kegirangan Razka mengacak rambutnya dan melembutkan suara saat berbicara dengannya tadi.
"Gak bisa! Gak bisa! Gak bisa! Ini terlalu kiyowoooo!"
***
Sesuai janjinya, Razka mengajak Moccha ke sebuah toko suvenir di dekat toko buku yang ia kunjungi.
Sebenarnya, itu hanya alasannya saja. Di dalam toko buku yang Razka lakukan hanya melihat-lihat. Ia berpencar dengan Moccha. Razka memanfaatkan kesempatan dengan memotret segala ekspresi Moccha saat memilah dan membaca buku yang tersedia. Di saat ia selesai dengan kegiatannya, ia menemui Moccha lagi. Mengatakan ia sudah selesai membayar buku dan tinggal menuruti apa yang Moccha mau.
Kini, Razka hanya memperhatikan Moccha yang asik melihat-lihat sovenir di toko yang ia janjikan. Gadis itu nampak antusias, bibirnya terus memancarkan senyuman. Matanya yang selalu bersinar layaknya perhiasan yang ia sentuh, kini terlihat lagi.
Rasanya ini begitu damai. Razka merasa deja vu. Ia teringat akan pertama kalinya ia bertemu Moccha. Rasa itu masih sama, tidak berubah sama sekali. Razka teringat akan sesuatu. Ia merogoh saku jaketnya, mencari benda yang tak pernah ia keluarkan dari sana. Bando berwarna toska, yang pernah ia berikan sebagai hadiah ulang tahun Adiva dulu.
Razka beranjak dari tempatnya. Ia menghampiri Moccha dan menarik tangannya. Moccha sempat bingung karena Razka tiba-tiba membawanya ke sebuah kaca besar di salah satu rak aksesoris. Mengajak Moccha saling bertatapan melalui bayangan di sana.
"Razka mau ngapain?"
"Udah, diem dulu."
Razka menyeka rambut Moccha ke belakang telinganya. Memakai bando yang ia bawa di kepala Moccha dengan hati-hati. Moccha tertegun, menatap sesuatu yang bertengger di kepalanya.
"Lo suka?"
Moccha mengangguk antusias dengan senyuman paling manis.
"Dulu, gue pernah kasih bando ini ke Adiva."
Senyuman Moccha memudar setelah mendengar nama itu. Terlihat jelas jika Moccha cemburu. Razka menyadarinya, ia lantas menjelaskan.
"Jangan salah paham. Gue emang pernah kasih bando ini ke Adiva waktu dia ulang tahun. Tapi Kenzie malah ngembaliin ini ke gue waktu gue jenguk Adiva kemarin. Katanya, Adiva gak suka toska. Gue sempat gak paham apa maksud dari ucapan Kenzie waktu itu. Tapi ... sekarang gue ngerti apa maksudnya."
Moccha mengernyit, sementara Razka melebarkan senyumannya. Ia menempelkan dagunya di bahu Moccha yang lebih pendek.
"Gue berniat kasih hadiah ini ke orang yang gue sayang, tapi ternyata gue salah alamat. Sampai akhirnya hadiah ini kembali ke tangan gue lagi kar'na gue udah ngasih ke orang yang salah. Sekarang, kalau lo nerima hadiah kecil dari gue ... artinya gue udah ngasih ke orang yang tepat."
Moccha diam menatap Razka dari pantulan cermin dengan lekat. Ia masih tidak bisa berkata. Antara mencerna setiap bait kata dari Razka atau berusaha menerima maksud dari kalimat Razka tadi. Razka mengangkat dagunya. Karena tinggi Moccha hanya sebatas dadanya, dengan mudah Razka mencium pucuk kepala Moccha. Tepat di atas bando itu berada. Sambil menempelkan dagunya di sana Razka berkata.
"Gue sayang sama lo, Moccha."
Moccha melongo setengah. Jika ia tidak lupa sedang berada di mana ia akan berteriak sekarang juga. Razka terkekeh melihat itu, ia membalikkan tubuh Moccha menjadi menghadapnya. Memegang kedua bahu Moccha seraya menatapnya.
"Gue gak mau kehilangan orang yang gue sayang untuk yang ketiga kalinya. Moccha, jangan menghindar dari gue lagi, hm?"
Moccha mengangguk. Menyanggupi ucapan Razka dengan senyumannya. Razka ikut tersenyum. Tiba-tiba ponsel Razka berbunyi. Ia merogoh saku celana untuk mengambil ponselnya. Mengangkat telfon dari seseorang yang menghubunginya.
"Iya, halo?"
Moccha menghadap ke depan lagi, berkaca menilai penampilannya sendiri. Memilih tidak mengganggu Razka yang sedang menelfon entah siapa. Namun, Moccha dibuat mengernyit. Saat ia melihat dari pantulan cermin Razka nampak shock. Wajah pemuda itu memutih, seakan darah enggan naik ke atas sana. Lantas Moccha berbalik untuk bertanya.
"Kenapa?"
Razka masih berusaha mengontrol keterkejutannya. Ia menatap Moccha dengan gurat sedih yang tergambar di wajahnya.
"Adiva meninggal."
KAMU SEDANG MEMBACA
SHE AND YOU ✓
Novela JuvenilOperasi yang ia jalani membuat Razka akhirnya bisa melihat lagi. Sayangnya, ketika ia sudah bisa melihat indahnya dunia, gadis yang ia sayangi harus menutup mata. Razka berusaha mencari mataharinya lagi, sampai ia bertemu dengan Moccha. Gadis ajaib...