“Ibu, aku tetap di sini, tetap menantimu kembali. Walau sepertinya akan banyak rintangan yang harus aku hadapi. Semangatku tak pernah padam, karena untuk bertemu denganmu ada banyak yang harus aku lakukan.”
🥀
“Alina!” Bentak seorang pria paruh baya kepada Alina yang berada di hadapannya. Mendengar bentakan dari sang Ayah, gadis itu meneteskan air matanya. Apa hidupnya tak akan pernah berubah?
Gadis bernama Alina itu menghela napas pasrah, gadis itu kemudian berkata, “Kenapa? Apa aku salah menanyakan keberadaan Bunda?!”
Alina selalu bertanya, di mana Bundanya berada, tapi yang selalu dikatakan ayahnya tetap sama. Jika ia tak bisa mendapatkan nilai terbaik, ia tak akan pernah tau di mana Bundanya berada kini.
“Aku ini sebenarnya anak kandung ayah atau bukan? Sepertinya benar kata Richard, aku mungkin anak orang lain sehingga ayah memperlakukan aku—”
“Diam kamu!”
Belum sempat Alina menyelesaikan kalimatnya, lagi-lagi Bagas membentaknya. Ia bingung dengan ayahnya, apakah sesulit itu memberitahukan keberadaan Bundanya?
“Jika kamu belum bisa menjadi seperti apa yang saya inginkan, jangan harap kamu bisa bertemu dengan Ibu kandung kamu!” Bentak Bagas lalu pergi begitu saja meninggalkan Alina.
Alina menatap ayahnya yang pergi menjauh, ia mengacak-acak rambutnya frustasi, pusing memikirkan apa yang akhir-akhir ini terjadi.
Ia tau hadirnya tak pernah diharapkan, bahkan hadirnya hanyalah dianggap sebuah kesalahan. Ia tau karena ia ada, ayahnya kehilangan wanita yang dia cinta dan calon anaknya.
Tapi bagaimanapun juga, salahkan jika Alina ingin mendapatkan kasih sayang dari Bagas? Atau setidaknya merasakan bagaimana hangatnya pelukannya. Bagaimanapun juga, ia pun anak kandung Bagas. Tapi ia, tak pernah mendapatkan kasih sayangnya.
Tiba-tiba Alina memegangi kepalanya yang terasa pusing, bahkan perutnya juga merasa mual. Alina mulai kehilangan keseimbangannya, untungnya seseorang menangkapnya ketika ia hampir terjatuh.
“Dokter Reza?”
Pria itu membantu Alina duduk di sofa, ia sudah menduga bahwa kondisi Alina sedang tidak baik-baik saja.
“Kamu tidak apa-apa? Tidak perlu berbohong jika bersama saya,” ucapnya pada Alina yang berada di sampingnya.
“Kamu harus berobat, jika tidak, kondisimu akan semakin memburuk.” Alina tak memperdulikan ucapan Dokter Reza, yang terpenting baginya sekarang bukanlah kondisinya, tapi melihat Bundanya bahagia.
Reza tak mengerti cara berpikir Alina, ia bingung bagaimana caranya membujuk Alina agar gadis itu mau berobat. Ia takut kondisi Alina semakin memburuk.
Sekarang, hanya ia yang tau bagaimana kondisi Alina. Hanya ia yang tau, penyakit apa yang sekarang di derita Alina. Karena Alina tak pernah menceritakannya kepada siapa-siapa, termasuk Bagas.
🥀
Riri memasuki ruang kerja ayahnya, gadis itu tersenyum melihat Dimas. Ia tak sabar menunjukkan apa yang berhasil ia raih, ia berpikir ayahnya pasti akan bangga terhadap dirinya.
“Papa—”
“Sedang apa kamu kemari? Pergilah! Saya sedang sibuk!” Belum sempat Riri menyelesaikan kalimatnya, Dimas lebih dulu mengusirnya. Riri tak tau kenapa, tak mengerti salahnya, yang membuat Dimas sejak dulu selalu bersikap dingin kepadanya.
Senyum gadis itu kemudian memudar, tak peduli apa yang Dimas katakan, yang terpenting ia melakukan yang terbaik yang dirinya bisa lakukan.
“Papa, aku meraih peringkat satu lagi. Aku berhasil mendapatkan nilai terbaik di sekolah,” ucap Riri. Namun, Dimas tak peduli dengan apa yang Riri katakan, pria itu kembali fokus ke pekerjaannya.
Riri menunduk, ia ingin berlari memeluk sang Papa. Namun, sayangnya ia tak bisa berjalan semenjak kecelakaan bertahun-tahun yang lalu. Ia hanya terdiam duduk di kursi rodanya, sambil menunggu Dimas selesai bekerja. Ia pikir, Dimas sedang sibuk sehingga tak bisa meladeninya.
Beberapa jam berlalu, hari bahkan sudah larut malam, Dimas baru saja menyelesaikan pekerjaannya. Riri yang tadi tertidur, tiba-tiba terbangun. Ia tersenyum, akhirnya Papanya sudah selesai bekerja.
“Papa, aku berhasil—”
“Saya tau! Memangnya kenapa kalau kamu mendapatkan nilai terbaik? Kamu pikir Mama kamu akan kembali kesini dan memuji kamu?” tanya Dimas yang membuat Riri kembali menunduk.
“Andai kamu tidak sakit, Mama kamu pasti akan memilih bertahan, dari pada pergi karena keterpaksaan.”
Riri terdiam, apa semua ini salahnya?
🥀
Richard memarkirkan motornya di kawasan rumah yang cukup luas, ia menghela napas pasrah, kenapa ia harus kesini lagi? Pikirnya.
Jika bukan karena barangnya yang tertinggal, ia tak ingin kembali ke sini dan menemui Papanya dan juga Ibu tirinya.
Richard masuk ke dalam rumah, ia melihat ayahnya dan ibu tirinya yang sedang makan bersama. Ia sudah bosan melihat pemandangan ini, ia langsung pergi menuju kamarnya. Namun, tiba-tiba Rudi menahannya.
“Richard! Setidaknya sapa Mama kamu! Papa tau kamu benci Papa, tapi tolong jangan buat Mama kamu sedih, dia sudah berusaha untuk menjadi yang terbaik untuk kamu.” Richard tertawa mendengar ucapan Rudi.
Pria itu mendengus sebal, lalu berkata, “Untuk apa? Pantaskah aku menghargainya?”
Plak!
Rudi menampar Richard, Lisa yang melihat itu langsung menenangkan suaminya. Ia takut, takut Richard semakin membencinya.
“Terus! Itu gak sakit kok! Tampar aku terus!” teriak Richard. Ini sudah terlalu sering ia rasakan, ia sudah lelah berdebat dengan sang Papa, dan itu membuatnya memilih tinggal sendiri.
“Haruskah aku menghargai seseorang yang sudah menghancurkan hidup aku, Syakira dan Bunda?” lirihnya membuat Lisa terdiam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Matahari Untuk Richard
Teen Fiction[Sudah Terbit, tersedia di Shopee @laskar_books] Ini kisah tentang mereka dan luka yang mereka rasa, tentang Richard yang sangat terluka ketika mengetahui fakta bahwa ayahnya memiliki perempuan lain selain bundanya. Ini juga tentang Riri yang selalu...