15 || Pertemuan

102 14 5
                                    

“Ayah, meskipun aku tidak tau sekarang engkau berada di mana, tapi semoga kamu selalu baik-baik saja.”

—Aletta.

🥀

Alina berjalan di koridor jalanan, gadis itu terus berjalan menuju sekolahnya yang cukup jauh dari rumahnya. Namun, gadis itu lebih memilih pergi ke sekolah dengan berjalan kaki sendiri dari pada diantarkan oleh supir pribadinya. Perasaannya benar-benar hancur sekarang, apakah ia memang sudah tidak bisa bersama Ghifar kembali?

Dirinya benar-benar terluka ketika melihat bagaimana cara Ghifar memperlakukan Aletta, berbeda sekali saat pria itu bersamanya. Ia tau seharusnya ia tak seperti ini, karena ia sudah tidak punya hubungan apa-apa lagi dengan Ghifar, tapi entah kenapa ia masih belum rela jika posisinya di hati Ghifar tergantikan. Karena,  dulu sekali sebelum Richard sepeduli ini padanya, Ghifar lah yang selalu menemaninya dan melindunginya, pria itu selalu mau mendengarkan keluh kesahnya.

Ia rindu saat-saat di mana dirinya dan Ghifar duduk di tepi pantai, di saat ia menyandarkan kepalanya di bahu Ghifar, di saat ia menceritakan luka-luka yang selama ini dirinya rasakan, dan pelukan Ghifar yang begitu menenangkan.

Tanpa sadar, air matanya keluar, Dinda yang melihat anaknya menangis juga ikut meneteskan air mata, apakah Alina sekarang sangat merasa terluka? Sudah beberapa hari ia mengikuti Alina diam-diam ketika gadis itu sedang pergi, ia benar-benar tak tega melihat Alina yang terus menangis sejak kemarin hari.

Bruk!

“Aduh!”

Alina tersandung, gadis itu terjatuh dan meringis kesakitan, melihat itu Dinda langsung keluar dari mobilnya dan langsung membantu Alina.

“Alina, kamu gak apa-apa?” tanya Dinda ingin memastikan.

Dinda membantu Alina berdiri, ia tak bisa diam saja ketika melihat Alina terluka.

“Aku gak apa-apa tante, makasih udah nolongin aku,” jawab Alina.

“Tapi kok tante bisa tau nama aku?” tanya Alina kepada Dinda.

Dinda terdiam beberapa saat mendengar pertanyaan Alina. Ah, kenapa ia bisa lupa jika Alina belum mengenalnya.

“Ah, nama saya Dinda. Saya teman akrab Bagas, jadi saya bisa tau nama kamu,” jawab Dinda.

Alina mengangguk mengerti.

“Kamu mau berangkat ke sekolah kan? Biar saya antar, sekolah kamu masih jauh lho,” ucap Dinda.

“Gak usah tante, aku jalan kaki aja,” tolak Alina.

“Kamu bareng tante aja, ya. Sekalian tante juga mau ngobrol sama kamu, massa tante kenal kamu tapi kamu gak kenal tante,” ucap Dinda.

Alina mengangguk gadis itu kemudian berkata, “Gak ngerepotin kan?”

Dinda menggeleng.

Kemudian Dinda mengajak Alina masuk ke dalam mobilnya, ia merasa senang karena untuk pertama kalinya ia bisa mengobrol dengan Alina. Ia benar-benar rindu dengan putrinya.

Beberapa menit kemudian akhirnya keduanya sampai di sekolah, Dinda mengantarkan Alina sampai ke depan gerbang.

“Makasih ya tante, maaf kalau ngerepotin. Nanti kita ketemu lagi, ya.” Perkataan Alina membuat Dinda tersenyum senang.

“Sama-sama.”

Dinda tersenyum melihat Alina tersenyum senang. Namun, senyumannya memudar ketika melihat seorang perempuan yang seperti tidak asing baginya. Perempuan itu tengah mengantarkan gadis seusia Alina yang menurut Dinda mungkin saja itu adalah anaknya.

“Dia Citra?”

Matahari Untuk RichardTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang